Kategori

Monday, June 13, 2011

Gantung Diri!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Pagut pagut itu tak kunjung susut,
membuat lekas lekas menjadi memburu waktu yang cepat lepas,
aku di keranjang sampah masa depan, berenang!
Mayat mayat riwayat tak mengumat, tak sempat!
Esok itu sejarah menderu, konsonansi pergerakan perubahan, memekik!
Kemarin itu mimpi, anjing tidur di kolong alasan keladi, menari!
Emak!, aku di puncak payudara bumi, berenang!, di punting menari bersama celeng.
Emak?, aku di lembah, di dubur tabiat!, berdoa bersama segerombol mani.
Bapak?, apa itu emak?. Lalu di mana kasihku pak?,
tidak punyakah aku sandaran kepastian?
Pak, emak, aku seharusnya punya kenangan,
semestinya punya riwayat,
setidaknya tape compo bobrok itu pernah merekamku sebelum mati.
Lihat!, Hebat Pak, Mak, aku punya cucu!
Dia tidur pulas di khayalan buruh,
siang itu dia menyeka keringatku,
aku siap berpeluh di pabrik milik para pelit itu Pak!
gantung diri!

Sunday, May 8, 2011

!, Jadi deras

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Bersegi, di semua sudut mendimensi,
mengajari sinergi sepi yang rapi,

berhitam, di segala pandang melegam,
menghantam jeram jeram merunyam,

dan segala yang warna warni tiba tiba menemaram,
di dua belas garis yang mencipta delapan sudut,
segalanya berangsur menghitam,

putih bening menerobos lubang lubang angin,
jadi abu abu yang merubah gebu menjadi ngilu,

angin angin naik melalui sepoi,
hantarkan nisbi melalui pori,
empat menit sebelum gerimis mengalirkan sebutir amis,

di sini,
di maksud maksud yang lantas menjadi lekas,
lalu menjadi berlalu,
jadi deru,
yang laju dan laju lalu layu,
diketidakmampuan,
diketidakberpihakan,

dan mataku ke atas,
jadi deras.

Thursday, May 5, 2011

Tentang pernikahan

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Kemis, November 18, 2010 jam 6:49pm

Aku cium wangi mayatmu dari bak sampah di ujung gang. Lalu aku suruh orang mendandanimu supaya cantik. Kemarin di tepat jam 12 sing, langit mendung menahan tangis. Aku dan dirimu bersanding di kursi pelaminan. Tendanya berwarna biru seperti pintamu dulu. Keras lagu campursari menerjang telingaku. Satu jam setelah menikah. Setelah aku berpikir keras karna pengakuanmu setelah penghulu mengucap sah!. Aku meninggalkanmu, karna kecewa dan malu. Maafkan karna prinsip bagiku Tuhan.

Mari terjunkan!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Jumat, November 19, 2010 jam 5:00pm

pada sepoi angin lirih pembawa semuanya; tampar wajahku segera
lalu pada hujan pembersih luka; tenggelamkan kepalaku sementara
pada utara yang membuatku tahu tenggara; binasa segala tipudaya
gunung menuju relung
langit menuju laut
gandeng tanganku; kita terjun bebas dari ketinggian di ujung sana
menuju rumah

17

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Kaktus depan rumah tiba tiba nangis sampai tersedak sedak, kaktus ngajak saya mabok, katanya mau curhat masalah cintanya sama kamboja. Alamak, saya butuh bantuan kucing garong dan buaya darat. Saya ragu kaktus ini pria sejati karena dia suka Gibran.

16

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Adany bom&teror membuktikan kisah asmara beberapa rakyat kita bergejolak&tak tahu arah.Pelaku bom cnderung kuper&tak melek cinta,asmaranya suram.Mreka putus asa hingga skeptis krena tak mampu memikat wanita sehingga begitu ceria ktika dijanjikan bidadari cantik macam Miyabi di surga.Mungkin mreka ngiler ingin sgera trisum atau gangbang.Oh iya saya ingetin,di surga kita tdak dikasih nafsu.Masturbasi saja,jngan ngebom.

Malam pada malam

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Saturday, November 20, 2010 jam 1:20am

raga merebah
lalu sepi menghantarkan pikir pikir
membentuk tabir
lalu iklas menidurkan gelap
sampai lelap
tanpa tanya
hanya malam seperti biasa
disaat rasa dan pikir berdebat hebat
hujat menghujat
sebelum mata mata
tertutup oleh mantra
ketika mimpi berkata; lupakan saja.

Nanti kau boleh melukis ikan di langit!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Saturday, November 20, 2010 jam 6:52pm

pada tanah berilah tanam tanaman
pada udara ceritakan angin
pada langit sertakan bulan
ketahuilah: tahu posisi adalah kearifan
dan nanti ketika bijak bertemu bijak
ngerti ketemu ngerti
paham ketemu paham
kau boleh menggambar ikan di atas langit
lalu kau juga boleh bercerita sesukamu
semaumu
asal pada titik menjadi manusia itu batasmu
terserah apa namamu
tak peduli aku sebutan padamu.

Tentang cara dan rasa; pria tetaplah pria

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Saturday, November 20, 2010 jam 2:50am

Pada penolakan: diam, memaksa pikir meminta, dalam hati mengemis, tapi mulut dan mimik adalah keangkuhan. Maka tawa tertawa dengan segala kebohongan. Mengangkat wajah diatas hati yang ngilu. Tentang cara, tentang rasa; pria tetaplah pria.

Gambar diriku aku tak mampu

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Saturday, November 20, 2010 jam 8:30pm

Tentang indah yang selalu kewanitaan
lalu bijak yang selalu keibuan
perkasa yang selalu kelelakian
jantan yang selalu kepriawanan
tlaten yang selalu kemamakan
nriman yang selalu kewongcilikan
tentang apapun yang selalu pada keapapunan
padanya gambar gambar tergambar
padanya cap cap tertancap
lalu aku ambil buku gambar
aku lukis diriku menjadi yang demikian demikian
oh berapa ribu
oh berapa ribu
kubutuhkan untuk mengenal diriku
ah tak mampu
apalagi menggambarmu Kekasihku
ah apalagi yang harus kusangsikan akanMu
tak ada
tak ada
sungguh tak ada.

Aku ganti yang tergantikan!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Senèn, November 22, 2010 jam 3:48am

Menjilat rahim istriku
pada lima ribu
hilang tanpa aku tahu
maka aku bilang : lupakan!,
pada esok aku selipkan
beribu cara cara
yang tersebut rencana
bayi bayi tak menahu raga
pada lima ribu
aku ganti yang tergantikan : rasa!

Dalam tidur tiada sedikitpun kuasaku

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Sunday, November 21, 2010 jam 5:05am

di tidurku tak pernah ada kau
di mimpiku tak kuinginkan ada kau
tampar wajahku bila kau dengar aku merayu dengan itu
kau tahu segalaku?,
pada tidur tiada sedikitpun kuasaku.

Tentang yang bikin penasaran

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Sunday, November 21, 2010 jam 4:23am

Pada diam: senyuman!

Bikin sajak cinta ahhh

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Sunday, November 21, 2010 jam 4:07am

Lukiskan rasa; indahkan dengan apa saja!

Tentang ahh, cek dan tidak.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Sunday, November 21, 2010 jam 3:59am

Segala penjelasan; menimbulkan jutaan pertanyaan

Segala pertanyaan; menhgasilkan satu penjelasan
tentang keangkuhan; perbedaan

selalu ahh
pasti cek
dan menolak tidak.

matahari selalu terbit dari timur di kepalamu

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Selasa, November 23, 2010 jam 4:56pm

Bau kutang mamakmu tercium diujung jari kakimu. Setidaknya gincu menandai itu. Oh rangkaian tari tarian di makam pangeran Samudra, mengajak nafsu mencumbu malaikat palsu. Pada laku laku belagu. Jika nestapa menari nari merayau pada segala yang tabu. Oh aduhai siapa kau punya guru, hingga tak tahu perdu perdu. Lalu rambu rambu. Matahari terbit selamanya dari timur di kepalamu.

Dan menerka sama saja tertipu daya.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Selasa, November 30, 2010 jam 4:50pm

Pada lima mata
aku kedipkan kesemuanya
untuk tiga langkah ke depan
pikir pikir menjadi terdepan
setiap kejadian
lima mata
dan tiga langkah pikir membuka
untuk nafsu sok tahu
aku tegaskan: belum tentu!
untuk nafsu tahu
aku tegaskan: jangan tertipu!
di atas cerita
aktor aktor hanya boneka
siapa sutradara
oh aduhai produser berjaya
dan menerka?
sama saja tertipu daya.

Entahlah.nyerah!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Kemis, December 2, 2010 jam 1:29am

letih, lelah
nyerah!
tak kutemui inginku
sebuah pulau
ya sebuah pulau
yang tak pernah dijajah
yang tak pernah disinggah
ah lelah
nyerah!
dipenghujung kembaraku
di akhir rinduku
semua rumah
telah terjamah
semua kota
telah dinamai
ah lelah
nyerah!

Ah entahlah siapa salah.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Rèbo, December 8, 2010 jam 2:35am

Aku mengumpat
sekuat kuat
benar benar mengumpat
kuat!
pada pemuda pemuda bejat
mengatasnamakan cinta bersyarat
keparat!
dasar penjilat aurat!
membuat mimpi mimpi terlumat!

15

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Kaktus yang hidup di pot di teras depan rumah saya terlalu mengidolakan Gibran, saya sering kelimpungan mendengar ucapan ucapanya. Saya rasa kaktus itu perlu mencoba gaya menyetir seperti sopir metromini dan berpenampilan ala personil AC/DC sewaktu muda. Saya juga curiga kaktus kurang mendengar lagu lagu dangdut koplo yang erotis dan misterius. Kasihan.

13

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Rambut harus merdeka, biar saja dia memanjang dan bergerak riang. Saya gondrong karena demokratis. Rambut saya merdeka. Indah bukan?
Sekali lagi rambut harus merdeka, kemerdekaan rambut ditandai dengan tidak dilanggarnya hak asasi rambut untuk memanjang dengan gembira.

14

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Orientasi kepandain selalu dikaitkan dngan pendidikan yg ditempuh di sekolahan. Kurikulum yg digunakan pun cenderung membuat pelajar disamakan menurut batas tertentu. Sekolah menjadi kurang menarik yg mengakibatkan tingkat pembolos naik drastis. Pelajar yg dapat nilai baik harus nurut sama ilmu gurunya, pemberontak yg jenius selalu dapat nilai jelek. Tidak asik. Anyway selamat hari pendidikan nasional.

12

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Saya makan ikan asin juga bisa menyelesaikan soal itu, tak harus salmon. Jangan takut, ikan asin tetap lebih cihuy!! Hidup ikan asin.

11

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Bukan masalah kehebatan para pencuci otak dalam teknis atau sepiritual yang mampu mencuci otak rakyat, tapi memang karena kekurang kerenan rakyat yang dengan sadar atau tidak sadar membiarkan otaknya tercuci. Saya sarankan belajar jadi keren. Atau kalau kurang manjur jadi alien saja biar tidak bingung mencari surga.

10

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Rakyat bercinta dimana saja, disemak semak, dikali kali, dimana saja. Rakyat haus cinta seperti penyair,bercinta 3 kali sehari. Lewat sms, lewat telepon, email, kontak batin dan kontak raga. Total dalam sebulan rakyat bercinta 102 kali (asumsi tiap hari minggu rakyat gila hasrat hingga 2 kali lipat bercinta dari hari biasa). Fantastis!,rakyat kita bergairah, saya sangsi rakyat kita prustasi dan menjadi bom bunuh diri.

9

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Penyair gila adalah penyair yang menolak 5 buah penerbit karena alasan tidak mau jadi sombong akibat terkenal. Sebulan kemudian penyair itu kelaparan dan mati tragis. Sajak sajaknya dijual editor. Hantu penyair marah marah dan bangkit dari kubur dan lalu hidup menjadi sastrawan yang berduit.

8

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Gembong narkoba sudah, gembong teroris sudah, gembong penjahat ham sudah, selanjutnya gembong erotis. Ayo amerika, cari figur tepatnya. Perang karena alasan erotis lebih menarik. Setidaknya DPO nya cantik dan cakap berbodi erotis dan bikin tentara ngiler untuk mengintai. Selamat berperang amerika, saya mendukung anda.

7

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Pagi pagi rakyat perlu senam SKJ. Agar sehat serasa nikmat. Tubuh indah dan kuat. Selamat senam SKJ bagi yang menunaikan.

6

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Kemerdekaan rumput liar di teras rumah adalah ketika dia bebas tumbuh lebat. Pemilik rumah yang memangkas rumput itu sama dengan kelakuan pemimpin. Rakyat yang terlalu merdeka perlu di pangkas agar tidak tumbuh ke atas hingga merusak pandangan mata. Pemilik rumah adalah rakyat dan rumput adalah rakyat pemilik rumah, selebihnya dari itu alien kalau tidak tuyul.

4

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Semoga tidak ada serangan vampire China yang mewabah di negeri ini. Pemerintah pasti kelimpungan mencari air seni perjaka. Saya takut terjadi impor air seni jejaka yang besar sehingga mengakibatkan invlasi dan melemahnya rupiah. Hancur negri ini.

5

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Pribumi biasa berak di kali, jangan rusak budaya kita dengan membangun toilet umum. Toilet umum terlalu kapitalis dan merusak culture moyang kita. Save our berak di kali.

3

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Membuat diri bahagia itu mudah, tapi membuat raga bahagia itu sulit. Segala yang membuat diri bahagia cenderung membuat tubuh tersiksa demi sebuah rasa nikmat yang tidak jelas. Save our body dengan tidur. Saya kampanye demi tubuh. Hidup tubuh!!. Hidup tidur!!.

2

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Panu dan kulit saling mencintai. Walaupun kisah mereka selalu ditolak yang punya kulit karena alasan malu dan gengsi. Kisah cinta mereka seperti romeo dan juliet. Mesra dan tak peka jaman. Suci dan tulus setengah mati. Kisah akhirnya kulit iritasi hingga mati suri akibat minum obat racun. Sedang panu mati. Mereka berpisah akibat kejamnya dunia. Tragis. William Shakespeare dan Gibran terilhami kisah ini. Fantastis.

1

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Kehidupan selalu berbentuk narasi dan bukan deskripsi karena adanya tindak tanduk dan aksi yang tidak menjadikanya statis melainkan bersifat dinamis yang menjadikan rangkaian kisah yang hidup. Hubungan tindak tanduk yang logis akan membentuk suatu kausalitas sbagai hukum sebab akibat yang membentuk arus gerak yang brsinambung spanjang waktu. Jangan percaya kejutan karena terbukti kehidupan sangat tratur. Ayo bangun darr mimpi. Selamat malam, mau kopi?

Kunamakan saja

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Kunamakan itu ketidaktahuan,
yang datang disaat akal tak kuat berjalan,

kunamakan itu keadilan,
yang memberi rasa imbang berjalan,

kunamakan itu keangkuhan,
yang membuat hati sekeras otak.

Ketika

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Ketika kami menjadi kita
lalu kita menjadi aku
maka semua menjadi sesepi emosi
saatnya aku menuju Dia
lalu sesal sesal jadi pikir
maka memahami aku menjadi kita
lalu kami,
lagi.

Manusia sejati adalah penyair

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Teman penyair adalah sepi. Sepi merupakan kanvas yang indah bagi akal dan rasio yang merupakan media ampuh bagi tumbuh kembang sinergi pertanyaan dan jawaban akan segala. Sepi adalah ruang. Menyendiri dan diam sejenak adalah cikal bakal puisi dan keberpuisian yang berujung lahirnya ilmu. Sepi adalah sebuah ruang peristirahatan dari masalah duniawi yang dalam ruang itu tersedia waktu bagi akal untuk menyimpulkan segalanya. Dari ramai puisi terekam dan pada sepi puisi lahir.
Penyair mati karya bila sepi terlalu mahal. Akal demonstrasi ketika sepi dilarang. Sepi dan penyair bagai Romeo dan Juliet. Harus mesra. Sepi semacam ruang kamar dari rumah masa kecil yang selalu membuat penyair rindu pada suasananya. Keberpikiran membutuhkan rahim sepi untuk menumbuhkan embrio kenyataan ramai yang akhirnya terlahir sebagai bentuk bentuk ekspresi penyimpulan. Saya menyebut ini puisi. Sebuah produk kata yang terangkai melalui media apa saja. Sekali lagi penyair harus mesra dengan sepi. Harus.
Kenyataan bahwa sepi itu tidak berguna bagi manusia modern dan cenderung menakutkan malah akan membuat manusia menjadi budak teori. Manusia menjadi robot yang digerakan sosok idola. Manusia harus jadi penyair. Harus. Cara menjadi penyair adalah hanya dengan bijak menyediakan waktu untuk sepi hadir yang dengan sendirinya berpuisi. Menyimpulkan keabstrakan dalam untaian kalimat aneh yang mampu menyimpulkan jawaban dari segala. Pendek kata manusia butuh sepi dan harus mesra dengan sepi untuk menjadi penyair. Untuk menjadi manusia yang hakiki itu sendiri.
Manusia sejati adalah penyair. Segala yang abstrak tergambar dari kesimpulan pribadi manusia adalah puisi. Karena masalah realita memerlukan kesimpulan sebagai jawaban pribadi maka hasil dari kesimpulan ini adalah abstrak. Dan ini disebut puisi. Maka setiap manusia berpikir adalah penyair. Manusia berpikir selalu membutuhkan sepi. Penyair adalah manusia produk sepi yang berakal. Harus mesra. Harus.

MANUSIA AKULAH

MANUSIA AKULAH

Dingin menusuk pergelangan antar celah otakku, aku masih belum bosan di buatnya menari-nari di atas semua yang sudah biasa terjadi dan aku terlihat pasrah, atau bahkan koma untuk sekedar keluar dari jerat lamunanku, aku sekarat. Semua tampak sama di pikiranku, bumbu-bumbu fatamorgana yang berbunga-bunga. Membuatku nyaman di atas perasaan bingung, perasaan terbuang, di antara semua alasan yang sebenaarnya entah benar atau hanya sekedar sesuatu yang terabaikan. Aku tersesat oleh lamunanku yang seolah membelengguku di penjaranya yang aku ciptakan sendiri, sendiri dan aku tak tau jalan keluar, aneh. Kilatan-kilatan kebencian dan penyesalan seolah-olah ingin segera menerkamku, seperti hidangan kuliner yang menunggu untuk disantap. Akankah aku harus berlari dari omong kosong yang telah aku ciptakan sendiri?, atau aku harus diam?, melawan?, aku mereka-rekanya sendiri dan malah membuatnya semakin rumit saja.
Pagi ini di otakku dan entah waktu apa di kehidupan nyata, aku mencoba bangkit, bersemangat, mencoba memulai memrogram ulang perdebatan-perdebatan yang menyiksa otakku. Sekarang waktunya gencatan senjata, dan mengakhiri kekacauan-kekacauan yang mungkin akan aku ciptakan sendiri. Aku bersemangat memulainya walau jujur aku takut.
Selamat datang aku ucapkan padamu, malaikat penyelamat yang aku ciptakan sendiri, aku tak sengaja menciptakanmu di tengah semua ini. Aku mencoba mulai berbicara denganmu seperti para penjajah-penjajh portugis yang belajar berbicara dengan pribumi-pribumi bodoh. “Hai, apa kabar??”, aku berusaha menyapa. Dia hanya diam, seakan–akan tak menganggap keberadaanku, aku jadi bingung. “Hei!!!!!!!”, aku menegur lebih keras, dia tak menjawab, hanya memelototkan matanya ke arahku, semakin membuatku bingung, dasar aneh.
Perasaanku semakin aneh, tak terkendali, dan entah apa ini?. Aku mencoba menerka, bersepekulasi, tapi tetap saja. Tak ada jawaban. Sepertinya ini bukan teori penjumlahan atau bahkan perkalian yang dengan mudah dipecahkan hanya dengan menggerakan jari pada kalkulator. Tidak ini lebih rumit dari teori atom atau bahkan nuklir sekalipun. Terlihat seperti abstrak dan tak terjawab, tapi harus ditemukan, seperti professor bidang teori hidup di dunia lamunanku, kerajaan khayalanku.
Analisis, itulah langkah pertama yang biasa digunakan orang normal untuk memecahkan masalah. Kucoba menganalisa, dan hasilnya adalah klasik. sebuah jawaban yang berakhir tanya. Aku begitu terbelenggu dengan semua ini, aku terlalu silau oleh cahaya penyesalan yang menghinggapiku, bagai sebuah candu yang mendoktrinku. Kekacauan begitu melekat di hatiku, membentuk bulatan besar di hatiku.
Aku coba tegar tekatku, kubulatkan semangatku yang mengapi bagai rona merah yang menyilaukan mataku. Aku coba berjalan tertatih memecahkan ini semua, mencoba menerka segala kemungkinan yang mungkin terlewatkan olehku. Mataku suram oleh ribuan atau bahkan jutaan gang-gang kebencian dan pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah kulihat sebelumnya, sebuah karya otak-otak penuh tanya. Tapi aneh, ini semua seperti dejavu kejadian yang coba kupaksakan, begitu angkuh untuk ukuran ilmu dan terlalu indah untuk ukuran teori-teori pesolek yang penuh kebohongan. Aku masih bertanya dalam hati sembari terus berusaha untuk dapat memecahkan bahasa dan tindakan apa yang mampu membuat malaikat penyelamatku menghiraukanku. “Hei!!”, aku terus mencoba menyapa, tapi seolah dia tak mendengar ataupun memang begitu, selalu bisu. Memang benar hidup ini bisu aku bilang, sepi untuk sebuah kata yang disebut hidup. Ah lupakan malaikatku, dia benci aku pikir, atau muak malah mendengar penjelasnku, mungkin. Setelah analisa gagal lalu apa yang harus kuperbuat? Diam?, bisa gila saya. Atau lebaih baik saya coba berbicara dengan angan-angan saya, dari pada mengikuti pendapat-pendapat korban sodomi ilmu-ilmu palsu karya professor yang tak jelas, banyak sih, tapi aku tak percaya. Terlalu bodoh menurutku. Akhirnya aku putuskan berjalan saja, ikuti jalan yang jelas.
Babak baru yang segera kurengguh, hanya untuk mengisi kekosongan hati yang tak harus terisi. Aku coba berspekulasi, memainkan imajinasiku seolah ini nyata bagiku. Aku coba menari sendiri di tengah keagungan dunia yang coba aku ciptakan, membentuk jutaan solusi-solusi yang terlampau mencengangkan, dahsiat!. Apakah ini sebuah teori revolusioner baru teriakku, memekik!!. Atau hanya sebuah karya biadab dan hanya ditertawakan?, biarkan masyarakat-masyarakat yang maha madani yang menjawab, saya lelah. Kita lihat saja, perawan atau janda yang baik, pilihan atau sekedar jawaban yang terbaik, saya tak tau, aku pun tidak paham.
Hahaha…, Anda tentu tercengang, tebak apa makhluk yang coba datang??? Setan!!!, hahaha…., saya tertawa, aku terbahak!!!. Malaikat saja tak menggubris, apa lagi setan. Lalu kenapa dia hadir, datang, menyapa??. Akh…, dasar setan. Tak cukupkah dia dikutuk oleh orang-orang beradab dan macam-macam Tuhan yang mereka banggakan, mereka sembah-sembah, seperti babu saja!, umat kok mbabu!!, memalukan. Sudah sini saja setan, biar kupeluk kau, dari pada dihujat sana-sini, kasian saya, aku melas melihatnya, malu!. Biar disini saja, kita sama-sama terhina, terabaikan. Biarlah waktu yang menunjukkan apa kita salah, apa ayam-ayam di kandang bapak-bapak terhormat itu yang benar, atau domba-domba orang-orang tua itu yang terlampau benar, biarlah. Hujatan itu biasa bagi kita, makhluk-makhluk yang menurut anggapan mereka sampah, tak pantas benar!. Lelah!.
Ayo kita demo setan, ajak teman-teman kamu kalau kamu punya, karena saya tak punya, apalagi aku. Hah.., kamu juga tak punya??? Anakmu kemana setan?? Tak punya?, kalau istrimu aku tak yakin, manusia perempuan saja tak banyak yang menurut, apalagi setan-setan betina yang emansipasinya sudah lebih dari tak terkendali!. Ah.., sudahlah kita berdua saja, masak takut, cacing saja berani melawan mereka, malu dong kalau kita hanya diam. Hahaha aku mengelabuhinya.
Akulah manusia, malaikat kukibuli, dan setan??. Ahhhh kukibuli juga. Aku tertawa sekali lagi. Lebih keras. Keras!!. Tuhan??, dan Tuhan??. Hahahahaha aku tak tahu bahwa dia hadir di diriku. Betapa tidak?, akupun mampu mengelabuhi diriku. Nuraniku. Yang bahkan Tuhan pun tak mampu. Lalu aku terbangun, menjadi diriku sebelum entah kapan lagi aku menyapa hal ini kembali. Menjadi manusia. Lagi.

Malang 23 Oktober 2007.

Mayat Tak Terbaca

Mayat Tak Terbaca

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Matahari mulai menabrak pegunungan dan lambat laun mulai hilang kalah dengan gelap kedap kesunyian malam. Aminah tertatih menghadapi terpaan hidup yang kian sayu. Ia hanya berbaring di atas pembaringan kayu jati yang telah termakan usia, di sampingnya itu diam tanpa suara rumpun keluarganya. Mereka sudah pasrah, tak tahu dan terus membisu.

Disekeliling pembaringan itu keluarga Aminah terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama, keseluruhanya tidak beda sebuah lingkaran dimana Aminah sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk menjaga dan memenuhi keinginan Aminah belum hilang dalam masa sesingkat itu.

Di sudut ruangan mata yang kemerah-merahan mulai meneteskan setitik air mata. Mata itu milik Siti, ibu dari Aminah. Ia terus menerus terbenam dalam kesunyian dan keputus asa'an. Terus merasakan penderitaan yang menyesakan sukma.

Tapi dia tak habis pikir, mengapa Tuhan yang kata orang-orang hidup di dunia yang penuh kepalsuan ini Maha Adil, Maha Bijaksana dan entah masih banyak Maha-Maha yang lain, tega memberikan cobaan yang teramat kelam.

"Oh Tuhanku, aku ini hidup hanya dengan satu anak. Anak itupun aku dapat dari suamiku yang telah termakan tanah, tidakah Kau kasian kepadaku?. Mengapa Kau cobai hambamu seberat ini?"

"Oh anaku Aminah, sadarlah!. Mengapa harus kau yang menanggung anaku??".

Ibu itu mencoba terus berdoa, walaupun ia sudah terlampau benci kepada Sang Pencipta.

Sudah dua minggu ini berlalu, Aminah tetap diam tergolek, ia masih tak sadar. Sampai dibawa ke rumah sakit seminggu yang lalupun pastilah Aminah tak tahu. Memang karna sudah tak sanggup diobati dirumah, ibu dan keluarga Aminah merawatinya di rumah sakit yang paling ternama.

"Tidakah kau tahu Siti! Ini rumah sakit paling ternama. Sudah jutaan orang sakit parah terobati di sini!", ucap tetangga Siti yang memang sudah punya bawaan sok tahu walaupun banyak yang mengakui dia bodoh.

Tapi mungkin hanya kebodohanlah yang membuat Siti yakin anaknya tertolong. Memang semua orang sudah pasrah, mereka tahu itu semua sudah tak mungkin.

Dokter sudah menolak merawat Aminah, keluarganyapun sudah pasrah dan bingung, juga kasihan.

Siti tetap bersikukuh, "Aminah dapat selamat!! Aminah dapat selamat!!", sambil bersungut sungut Siti berteriak menggerutu.

Hari-hari Siti mulai kacau. Ia sudah gila rupanya, bahkan orang gilapun tahu itu semua gila. Siti hanya bermimpi. Ia merasa ia Tuhan barangkali, dengan satu gerakan, bahkan tanpa gerakan bisa melakukan sesuatu.

Semua orang bahkan semua hal mengejek dan mencela Siti. Mereka menggerutu, batinya tergolek, terkoyak-koyak tak berwujud, tak berupa. Mereka bingung, mungkinkah ini fenomena, tapi mungkin ini lebih mirip kepalsuan, kediktatoran, menggurui, kesoktahuan, kesomboongan dan kemulukan hidup. Mereka tak percaya kasih sayang, tak percaya cinta. Mereka hanya tahu satu hal. Siti gila, ia gila!!.

Apa tidak gila, ia merawat mayat yang sudah busuk empat hari, ia terus menciumi mayat yang sudah sekarat. Belatungpun sampai tak mau menjilatinya. Mereka jijik, belatungpun jijik. Ayampun jijik.

Mereka dan semua orang boleh berkata Siti bodoh, Siti gila. Tak waras. Tapi mereka juga gila, mereka sampai tak tahu bahwa segolek tubuh sudah menyusul Aminah. Mereka terus menyerca. Sampai tak tahu rumah Siti memancarkan dua sumber bau busuk dari dua mayat. Tapi mereka dari mereka tadipun juga gila. Ia tak tahu bahwa mereka itu tadi telah tergolek menjadi mayat-mayat tak terbaca. Tak mengurusi. Tak tahu urus. Dan mereka dari mereka itupun lagi juga gila. Ia tak tahu banyak orang dari mereka, dari merekanya mereka, dari merekanya mereka itu tadi dan dari merekanya merekanya itu tadi sudah mati. Membusuk. Tak tercium. Tak sadar dan hanya kepalsuan.

Wahai sang kuasa, sebaiknya Engkau tahu umatMu sudah gila. Cepatlah jangan diam saja, berilah mukjizat yang berarti. Ah, jangan! Berilah uang saja supaya umatMu bertambah murka. Tak peduli. Seperti mayat tak terbaca. Terus menari, menari, sampai menjadi mayat.




MALANG 22 SEPTEMBER 2004.

Wednesday, May 4, 2011

Penyair keren harus belajar berkeringat, belajar bau asam.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Karena kelaparan, puisi menjadi terasa pahit.
Dan penyair di ladang bunga terlihat seperti berhala yang lapar darah.
Yang gemar maen sex bebas yang nikmat.
Yang gemar mencumbu wanita yang erotis.
Keindahan tak membuat beras tersedia.
Keindahan tak membuat anak bisa sekolah.
Rakyat lapar suka puisi yang senasib.
Rakyat lapar suka puisi ayam goreng.
Rakyat lapar suka puisi sate kambing.
Penyair keren harus kerja bakti turun lumpur.
Harus gerak nyata dan membaur.
Belajar berkeringat.
Belajar bau asam.
Belajar lapar.

Aku dan dia di dalam blues

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Pria hitam di ujung ruang, melantunkan pedih. Dari rintih, dari apa saja yang berbau perih. Tangan itu naik turun di tiga not gitar yang biasa. Namun syahdu, ngilu. Nada mistis itu mengalun sempoyongan menggetarkan bait - bait lamunan. Seperti berbisikan. Bertautan. Terdengar aneh, terasa tua. Begitu manja. Cinta akan jiwa pada tiap titian nada ini mampu menjerat, memaksa kepala dan sekujur tubuh bergerak lemah. Kelopak mata menutup lama, membuka kanvas akan tanya. Romansa. Riwayat. Kutiup harmonika ini lirih tapi menggelora, sepenuh jiwa. Aku masuk bersama dia. Berdansa. Di jiwa - jiwa ini terpagut irama. Mesra.

Sebuah monolog berbaris,ak menjadi siapa dan siapa menjadi dia,

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Rèbo, December 9, 2009 jam 6:43am


Lima menit yang lalu dia merasa sendiri, sepi terasa disaat aku merasa dia adalah rasa.
Lalu enggan, aku merasa ramai, dia mengiba pekat tertawa bagai aku adalah dia.
Lima menit kemudian dia menjadi perih oleh aku yang melantang menjadi yang pernah mesra, ingatan lalu.
Dia bertanya, mengusik gaung gaung lama tentangku, impianya, dan estetika diam menurut kesendirianya.
Lama aku menjadi asap disaat dia menyala, mungkin lima menit atau lima taun.
Aku bertanya pada dia yang mengaku aku, apa kamu tahu tuah-tuah kuno tentang isme-isme perasa yang tersirat??, tentang cahaya, tentang api yang menggurat, tentang biru yg damai, apa dia ingat? ap aku ingat?
Lima detik yang lalu aku tertawa, dan sekarang menangis lantang karena sepi merancu dia, mencerewet panjang menyerupai dogmanya, aku lari menjadi dia,
aku lari menjadi dia, membelalak ke arah kaki yang semu, yang bias, yang ambigu.
Aku menjadi dia, dia menjadi nya, nya menjadi aku.
Melatah tapi membeda, atau terbedakan,
oleh aku, dia, atau dirinya..

Pembaharuan : lama

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Pembaharuan : lama
Jumat, December 25, 2009 jam 8:54pm

Ada baru dan ada lama.
Karena baru adalah kemenangan yang mengalahkan lama, dan lama adalah kekalahan sejenak yang lelap dan menunggu dorman bangkit mengkudeta yg baru.
Buat mereka yang selalu menuntut pembaruan mungkin adalah kuat, sebuah gejolak hebat.
Lalu tidak kah anda berpikir, bahwa tuntutan pembaharuan anda hanyalah sebuah romansa lama yang coba anda bangkitkan kembali dengan melantang, menjadi pahlawan dengan menghujat.
Dan bagi anda yang terjebak mimpi lama, yang menginjak pedal rem untuk suatu perubahan, yang meminoritas untuk mendapat suatu pengakuan.
Bukankah ini semua sama saja??, tak ada yang baru dan tak ada yang lama.

Tanda tanya tanda

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Senèn, December 28, 2009 jam 6:35am

Coba terjemahkan maksud ini, tanpa sinopsis atau bukan prolog yang menggugah.
Coba artikan tanda tanya ini, tanpa perintah dan bukan anjuran yangg menguat.
Coba pahami ini, tanpa kitab atau bukan ajaran yang mengeras.
Coba ketahui ini, tanpa tanya dan bukan penjelasan yang terang.

Ya, mungkin ini adalah keindahan misteri alam. Heran. Sesuatu yangg tak pernah Dijelaskan dan menjadi tanda tanya adalah sebuah keindahan yang menciri khas.
Secara jujur saya tak pernah memahami kejadian saat ini.
Segala intrik dan teka tekinya.
Yang mencengangkan saya pun tak pernah mengerti gamblang segala yang terjadi di masa lalu, apalagi hari esok.

Ah, biarlah. Mungkin itulah keindahan yang tak pernah terjawab. Membuat rasa kangen hebat pada tanda tanya itu. Saya tak akan pernah berusaha menjawab. Biarlah. Inilah indah yang mengagumkan. Atau ketidaktauan adalah ketakutan pada tanda tanya itu dan membiarkanya berlalu seiring tanda tanya tanda tanya yang lain, seperti kita tidur dan berharap mimpi itu nyata atau hilang, mungkin.

Humanis

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Selasa, December 29, 2009 jam 7:21am


mulutku merancu, tentang hal yang tak penting, tentang hari esok yang terlupa, aku menjadi usang, menjadi terlupakan oleh perubahan, menjadi tertinggal oleh kesombongan, sekarang aku diam, mungkin esok akan berperang, menjajah saudaraku seperti kini mereka memeras saudaranya, kemarin aku melantang, entah sekarang ak umati suri, pingsan oleh segala yang pernah peka, oleh semangat nasionalis orang orang kiri, oleh politikus yang menjanjikan rumah baru, oleh ulama yang memberi petuah sabar, merenung aku sendiri, tak ingin menjadi apa, linglung oleh maksud jaman, oleh persaingan sodaramu yang saling tikam, aku disini yang tak pernah melantang untuk mengucap aku cinta bangsa, masih peduli, masih mengiba, masih berpikir, tentang bagaimann saudaraku, tentang bagaimana kelaparan, apa itu ketidak adilan, peduli tai kucing dengan nasionalis yangg mementingkan itu itu saja, mendebatkan yang tak penting, terlalu dalam, terlalu besar,l ihatlah kesekitar, sodaramu mati telanjang, sodaramu sekarat terperkosa jaman, mati memuja uang.

Masa itu,hanya itu: suasana mencengangkan.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
June 27, 2009 jam 11:52am

Di sana, di tempat itu kasihku.
Hanya kau, aku, meja bundar, sepasang kursi it dan cengkrama kita yg mempesona.
Hanya kita dan dunia kita.
Hanya mimpi dan hidup yangg coba kita tata.
Senyummu memecah keras hatiku.
Saat itu diberanda itu.
Kau meniti lamunanku memecah keanggunanmu.
Kau tampak memukau saat itu kasihku.
Dgn ketulusan terpancar dari matamu.
Kejujuran yang tak dibuat buat.
Obrolan sederhana yang selalu kutunggu.
Di beranda itu kasihku.
Kusematkan brjuta harap padamu.
Kulabuhkan beribu keajaiban di pelukmu.
Saat iut kasihku,
hanya kau, aku dan suasana yang selalu ku tunggu.
Selalu kunanti walau hanya harapku.

Aku ingat betul saat itu

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Jumat, June 26, 2009 jam 11:57pm

Aku ingat betul saat itu.
Dimana kau belai wajahku.
Kau rapikan tatanan rambutku.

Sore itu manisku,
di sebuah tempat yang tak terlalu indah.
Ku terbaring di lamunanmu,
menatap langit sore yang merah.

Hanya dengnamu, berdua...
Waktu seakan berlalu dengan nyamanya,
indah manisku..

Kita bicarakan hal-hal baru,
masalah melancholic,
begitu indah, sinergi yang mencengangkan.

Akan kah kau masih mau manisku,,
membelaiku lagi,
membiarkan ku tidur di pangkuanmu,
membicarakan masalah kita lagi,

Supir Angkot Menggugat

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

supir angkot menggugat

siapa suruh kredit motor seperti jual krupuk!
supir angkot makin meringkuk

siapa suruh harga hape seperti harga acar!
supir angkot kalah sama jemputan pacar

siapa suruh premium dijual ke orang orang kaya!
supir angkot kalah tenar sama kendaraan pribadi

supir angkot menggugat!
berak keringat
makan angin

supir angkot menggugat!
ketiak juragan
himpitan hutang

supir angkot menggugat!
minta hari angkot dijadikan hari nasional

supir angkot menggugat!
minta hari supir dijadikan hari nasional

supir angkot menggugat!
kesetaraan dengan buruh
kesetaraan dengan pekerja

supir angkot menggugat!
minta LSM
minta parpol

Monday, May 2, 2011

berak, kencing, kentut dan mani

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

berak penduduk itu amanah pemimpin
berak bisa memicu bom pemberontakan

kencing penduduk itu amanah pemimpin
kencing bisa memicu bom pergerakan

kentut penduduk itu amanah pemimpin
kentut bisa memicu bom demonstrasi

air mani penduduk itu amanah pemimpin
air mani bisa memicu bom parlawanan


berak pemimpin itu amanah penduduk
berak bisa memicu bom kesenjangan

kencing pemimpin itu amanah penduduk
kencing bisa memicu bom ketidakadialan

kentut pemimpin itu amanah penduduk
kentut bisa memicu bom kemarahan

air mani pemimpin itu amanah penduduk
air mani bisa memicu bom keputus asaan

experted.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

experted.
Selasa, September 22, 2009 jam 7:37am


bisikan itu masih kucari dari mana.
ratapan itu juga.
lirih mengusik ketenangan.
kebencian itu kadang juga sempat terdengar.
disamping iri dan picik yang tentu sering amat terdengar.
sepanjang usia kalam aku cari muasal.
aku butuh suatu sumber.
aura jelas yang menguatkan bisikan.
ya,manusia memang tak pernah brpikir jernih.
tak pernah mendahulukan baik.
kita terbiasa menafsirkan semua dengan kejelekan.
kebencian tanpa sebab.
menyesal selalu dibelakang.

itulah kenapa menyesal tercipta.
tak ada kesengajaan disini.
karena menyesal murni sebuah persepsi bahasa.
ya,kita manusia terlalu hebat.
berjuta otak yang berpikir kotor.
motorik kita fantastis untuk mendengki.
argumen kita digdaya untuk mencela.
ya,kita manusia.
yang selalu buta oleh maksud baik sesama.
yang selalu pandai menyimpulkan.
menyimpulkan kejelekan.
kita manusia tak bodoh.
kita hanya memanusia.
membaur dengan tatanan pola pikir yang menjerat.
menciptakan neraka ditengah mereka yang peduli pada kita.
menutup mata hati tuk bersama.
ya,kita manusia yang tak pernah memanusiakan perkara.
hingga kita mati bersama persepsi.
melupa, dilupakan dan lingkungan yang membatu dan terlalu dingin.

Jika rakyat bikin puisi

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Kamar saya gelap
mirip kamar aktivis
cat tembok saya usang
mirip pelaku teroris

yang saya tulis benci
yang saya karya tabu
tak ada indah
realitas tak begitu
tak melulu

ruang saya suram
persis ruang makar
kasur saya bau
persis pekerja seks

yang saya tulis tangis
yang saya karya mani
realitas tak begitu
tak melulu

nama saya kecil
nama saya susah
nama saya mlarat
panggil saya rakyat

Puisi itu apa tuan penyair?

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Puisi itu apa tuan penyair?
apa yang tampak dramatis?
untuk apa yang seperti itu tuan?
kehidupan jemu oleh kedramatisan

Puisi itu bagaimana tuan penyair?
apa yang tampak indah?
untuk apa yang seperti itu tuan?
kehidupan bosan dengan keterbuaian

adakah puisi yang mampu mengganjal lapar?
adakah puisi yang mampu membuat kami bergoyang?
adakah?

Rakyat Bercinta

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian


rakyat bercinta di swalayan
pake nafsu, ahh gila nian
remas remas BH
usuk usuk celana dalam

rakyat bercinta di jalan jalan
pake rayuan
belai belai sepeda motor
pijit pijit jok mobil

rakyat udah gila sensasi
pake mau makan gengsi
AC, butik, hotel
semua mewah bikin nafsu birahi

rakyat bercinta di toko hape
pake siulan
gilik gilik hape baru
jilat jilat voucher pulsa

rakyat bercinta di pasar
pake tangisan
damba damba beras
ratap ratap daging ayam

rakyat bercinta di sekolahan
pake jeritan
endus endus buku tulis
rayu rayu uang SPP

rakyat udah gila nurani
sulit mau makan nasi
ikan asin, aking, kolong jembatan
semua kebutuhan bikin nafsu mati

Untuk wanita muda

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Untuk wanita muda
Rèbo, November 17, 2010 jam 10:20pm

Untuk wanita muda,
jangan suka tertipu daya,
pada rasa,
pada kata,
pada semuanya,
jangan melayani,
nanti,
pastikan nanti,
setelah kau tersebut istri,
aku tanya mengapa?,
untuk apa?,
supaya apa?.

Aku Ingin Jadi Buruh

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Aku ingin jadi rakyat yang angkuh
aku ingin jadi manusia yang cuek
aku ingin jadi tetangga
aku ingin jadi sampah

buruh, aku tak takut jadi buruh
kujinjing tas berisi buku sekoalah
tiap pagi
tiap siang
aku tak takut jadi buruh

buruh, aku tak takut jadi buruh
kujinjing tas berisi catatan kuliah
tiap pagi
tiap petang
aku tak takut jadi buruh

tidak, aku tak berharap cemas akan nanti
aku hanya takut mati
tidak, aku tak takut hidup
esok aku jadi buruh
setelah lulus
bergelar anak sekolahan
bergelar anak kuliahan
aku jadi buruh
berijazah
aku bahagia

Hai nona

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Hai nona
Jumat, November 12, 2010 jam 2:54pm

Hai nona,
keluarkan suatu pertanda,
sedikit saja,
semacam getar sinyal sinyal,
supaya memaksamu hadir di khayal,

hai nona,
jangan tersenyum di sebrang sana,
mata mata malu jua,
ah mengandung mantra mantra,
oh tidak tak kuat ak tanpa kacamata,
raut raut menggoda,

hai nona,
andaikata rasa,
suap suap meraba,
pada kata,
susun kususun sembari mendamba,
ah malu,
oh ngilu,

hai nona,
sebatas terpesona,
saja,
lalu berlalu,
menunggu kau kau,
selanjut lanjutnya,
lagi begitu laginya.

Lalu nyanyikan!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Lalu nyanyikan!
Rèbo, November 17, 2010 jam 5:06am


Memeram rasa
lalu mata mata asa adalah jiwa jiwa
segala yang jauh
menjauh sejauh angkuh
terkubur dalam
sangat dalam
maka diam
memejam
jika esok adalah rasa
mari berdansa
dekap mendekap
lalu beri harap
jangan harap harap
malam ini relung ku kosongkan
maka dengan kehati hatian
isilah dengan penantian
dengarlah dengan pelan
segala rintih rintihan
lalu nyanyikan
sesukamu
lalu sesukaku
menjadi sesuka kita
bunga bunga rasa
terserah bila itu tersebut cinta

Kekasih?

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
on Jumat, April 8, 2011 jam 2:40am

Kau boleh mencintaiku, cari aku di kesombonganku, sujudku nanti saja, tunggu aku murahan dulu!. Skarang jauh masih, aku tak mencariMu. Cari saja aku. Kutunggu. Aku tak takut, rayu aku sbagai kekasihMu. Aku tunggu di ketulusanMu. Aku bukan murahan. Tak senggama hanya karna mabuk ganjaranMu. Bila Kau letih, aku tertawa sekali lagi. Silahkan sakit hati. Kutunggu!

Sebuah Romansa Martabat

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian


Sebuah Romansa Martabat
Senèn, February 1, 2010 jam 1:45am

Dan dia bernama Siti Nurbaya, yangg terikat hubungan terlarang dengan Ken Dedes, ah kisah Romeo dan Juliet terlalu tawar, hambar karrna kurang sensasi, lebih dahsyat ini, kisah timur yang terhalang agama dan kaum yg mengaku bragama. Dan dia bernama Si Pitung, tokoh ekstrimis yang terkenal karena membunuh Wali Songo yang Agung, yang menganggap umat yang paling suci dibanding Tan Malaka, lebih kaya dari Suharto si koruptor dan Sukarno si manipulator, romansa ini potret dari agama yang mendoktrin demokrasi ala slavery kepercayaan, tak ada Paus Paulus disini, yang ada hanya seruak mulut mulut tukang becak yang terinjak oleh pantat hinamu, aku menyebut dia Sajhrir, alias Rhoma Irama yang mengaku beragama dengan berpoligami lebih dari 7orang, yang kesemuanya ditiduri, ya aku memanggilnya Mao Dze Dong berkumis Hitler dan berpantat Ulama.

dia mati setelah warteg melambung bak bintang lima,salah siapakah?

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

dia mati setelah warteg melambung bak bintang lima,salah siapakah?
Kemis, February 18, 2010 jam 1:33pm

Dia pagi itu sperti biasa bersujud dan kemudian berikrar entah anda menyebutnya do'a atau harapan, terserah. Dia cium kening lima anaknya,eh enam sama yang masih diperut bininya, tak lupa dia melambai sebelum mlangkah yakin, atau entah anda menyebutnya optimis atau skedar memberi harapan palsu dibuta pagi kala itu. Tak lupa dia melangkah keluar rumah, hebatnya dia melangkah kaki kanan terlebih dahulu, hebat!!, entah apa anda menyebutnya, kebetulan atau direncanakan, tak usah disoal, dia bukan anda, langkahnya hanya warna hitam ditengah jelaga, tragis. Benaknya terus berpikir hebat pagi itu, celakanya dia tak punya arah, setelah PHK mencekik lehernya, ah dia hanya buruh, siapa dia bisa mengusik anda,cukup tebar pesona dan berakting cengeng selesailah sudah, dia hanya debu,menyesakkan memang jika banyak,ah tapi sekali tiup oleh otot otot penjagamu mampuslah dia, atau tak usah diapa apain juga paling mati sendiri dia mencekik lehernya. Dia terduduk dipinggir jalan, mempermainkan pikirnya,melamunkan asanya, ya beginilah nasib pemimpi, lahir jadi mimpi,tak pejam maka tak ada hidup. Perkenalkan dia adalah Sobirin, seorang pensiunan buruh oleh selembar kertas pecat, anaknya lima,jarak umurnya berdekatan sperti kisah tragis biasa bagi wong cilik, marah dengan negara dan melanggar sistem KB mungkin, haha itu pendapat saya, istrinya satu, Leha namanya, yang cuma bisa bunting, nangis, nyusuin, nangis, nyuci, tapi kebanyakan nangis dia ahlinya, anda sih nakal, semua istri anda suruh memutar otak dengan menaikkan harga kebutuhan hidup seenak udel anda. Cukup perkenalan tentang keluarga Sobirin, kita lanjutkan ceritanya. Setelah mentari muncul dan terang menggantikan gelap, Sobirin kemudian melangkah, dia lepas vantofelnya, kemejanya dia lipat juga, dia dapat ide dari TV buat ikutan jadi demonstran bayaran, mudah pikirnya, cuma modal teriak teriak, sekalian mukulin polisi kalau bisa. Berangkat dia dengan kening diikat tulisan "buruh malang lapar lalu mati group", membawa spanduk dan berteriak, walau kadang dia tak tau apa yang dia teriakkan selain kebencian pada negara. Sial tapi Sobirin, dia ditangkap, duit upah demonya disita, wajah babak belur, dendam membatu semakin keras, apes lah dia. Dengan gontai dia keluar polres berjalan melewati pertokoan sambil berharap mendapat kerja apapun juga, wah bagaimana dengan anda yang duduk di sofa empuk?? enaknya, liat tu Sobirin dewamu menari nari rin, memeras tanah saudaramu. Tak lama Sobirin lama menatap toko elektronik, seperti biasa dilihat dari pagarnya yang maximum security ini toko milik orang china dia bergumam, pantas saja bila kebakaran pada mampus kejebak dia pikir, tatapan matanya mengarah pada TV display yang menyiarkan berita berita nasional. Tarif tol naik, listrik ikut, lalu air, beras, sembako, pecun, bayi, wanita, naik naik naik!!, hanya keadilan dan moral yang turun, berita kelaparan dimana mana, kasus korupsi, pembunuhan, penipuan, pencurian, ah semuanya efek pemanasan ekonomi, global mlaratming!! tapi anda optimis saja, seperti kata anda, percaya rakyat mampu bersaing, kita bangsa besar, mari bersatu untuk maju!, ah tapi saya pikir Sobirin sudah lupa dengan kampanye Anda, mungkin hanya dua potong kaus dan satu bendera parpol anda yang kini dia jadikan pembungkus bantal yang tersisa, ah janji, lagi lagi menguap. Gontai Sobirin berjalan lagi, lalu dia berpikir untuk mencuri atau mencopet, tapi hatinya berontak, dia takut di cap jalang oleh orang pintar di agamanya, lalu dia berusaha melupa. Sesampai di pasar dia kerja serabutan, kuli angkut, tukang bersih sampai mijitin juraganya dia lakukan, hebatnya Sobirin memperoleh 21 ribu, 21 itu angka perek dia membatin, apes benar dia berguman. Sudah magrib, dia branjak pulang. Sesampainya di depan pasar dia ingat anak sulungnya pingin sama nasi campur, seminggu anaknya mimpi untuk bisa memakanya, ah cerita tragis biasa dalam rumah tangga kaum mlarat, kesulitan air tapi anda minum Perier, mandi di kali sekalian beraknya tapi anda berendam di jakuzi, putus sekolah walau anda gembar gembor APBN berpihak pada pendidikan,ahhh… dan masalah lain yang sangat amat sangat sangat banyak. Sesampainya di warteg dia memesan satu porsi pakai lauk telur ayam banyak tepung goreng bungkus sekalian sama nasi dan sayurnya, Sobirin menunggu dengan antusias dan berseri seri membayangkan keceriaan wajah anaknya nanti,sudah lalu dia bertanya, "berapa buk nasinya??", di jawa oleh penjual, "12ribu pak!", sobirin tak menjawab, "12 ribu pak!", Sobirin tak menjawab.

Saturday, April 30, 2011

Supaya rasa tak besar kepala

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Supaya rasa tak besar kepala
Senèn, November 8, 2010 jam 12:56pm


Masalah hati,
hanya masalah pikir yang mengenal luka,
yang berbumbu iri, marah dan nestapa.
Maka aku ambil dua gelas kedap rasa,
dan lalunya aku pisah pisah supaya rasa tak besar kepala,
dan bila rasa masih tak mau dibatas karnanya,
aku dekat hingga dekap kuping rasa, kubisikan; "aku ingin sadar nyata, jauh dari mimpi masalah hati yang merona, walau indah aku tega: nyata".

Berakhir dikata entah

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian


Berakhir dikata entah
 Senèn, November 8, 2010 jam 9:55pm


Dengarkan ramalanku,
disaat negriku dirundung tak tahu malu,
oleh benalu benalu yang mengaku setanah air denganku,

tentang air, api, hutan dan perbincangan,
lalu logam, tanah menjadi menggiurkan,

tatap ibu pertiwi ini sekali lagi,
lalu anggukan wajahmu berani,
tak perlu mimpi,
pun dengan puji,

tak usah teriakan Tuhan,
masalah surga tuan,
terlalu banyak amal perawan,
bukan doa doa melainkan turun tangan,

janji sebait karang,
mengepal tangan berang,
lalu bicara kutang,
sangat lantang,

anak anak negri ini anakmu,
susui dari payudara payudara lakumu,
dendam kian memicu,
lalu neraka muncul dari buah tanganmu,

terimalah karna ulah tak berubah,
memanut dan terpanut kebawah,
mencipta siklus siklus sampah,
berakhir di kata entah.

Seniman Adalah Penyusun yang Menjadikanya Harus Bisa Berdiri Sebagai Individu yang Esa Dengan Berusaha Mengkondisikan Dirinya pada Titik Kejujuran akan Sebagaimana Dirinya yang Lalu dengan Sadar Menempatkan Dirinya Sebagai Penyusun Semesta dengan Kesubyektivitasanya yang Angkuh dan Tegas hingga Berbeda Nyata

          Seni dalam bahasa Sanskerta disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengkapi dengan bentuk-bentuk yang indah atau dihiasi dengan indah. Sebagai kata benda ia berarti pewarnaan, yang kemudian berkembang menjadi segala macam kekriaan yang artistic. Dalam bahasa Latin pada abad pertengahan, ada terdapat istilah-istilah ars, artes, dan artista. Ars adalah teknik atau craftsmanship, yaitu ketangkasan dan kemahiran dalam mengerjakan sesuatu; adapun artes berarti kelompok orang-orang yang memiliki ketangkasan atau kemahiran; dan artista adalah anggota yang ada di dalam kelompok-kelompok itu. Maka kiranya artista dapat dipersamakan dengan cilpa.
          Dari sana saya memandang seni adalah murni buah karya pribadi yang abstrak dan outentik. Hal ini meletakan esensi seni sebagai buah karya perwujudan kesubyektivitasan yang coba diekspresikan sesorang mengenai obyek realita yang dialami seseorang. Manusia hidup dalam symbol, yang menyebabkan dunia ini penuh dengan subyektivitas. Semua bentuk komunikasi antar manusia dalah subyektif. Bahkan, sains yang merupakan ilmu pasti pun tetap saja subyektif. Sains baru bisa dibilang objektif bila mengikuti perjanjian yang berlaku secara internasional. Kesubyektifan seringkali menjerumuskan manusia dalam kesalahpahaman atau mungkin ketidaktepatan penilaian, perbedaan persepsi, atau apalah namanya. Apalagi mengenai hal-hal yang tidak ada perjanjiannya alias hal-hal non sains. Hal itu disebabkan oleh adanya perbedaan pengartian symbol oleh individu yang satu dengan yang lain. Intinya, kedua individu tersebut memiliki pengertian yang berbeda terhadap hal yang dibicarakan walaupun obyek yang dituju adalah sama persis.
          Dengan begitu esensi seni menurut saya harus menjadi suatu bentuk ekspresi yang tunggal. Setiap individu harus dengan jelas – jelas berbeda nyata. Seni adalah esa. Seni harus menempatkan dirinya sebagai pembeda antar individu. Dengan kata lain cara pandang dan ekspresi seni individulah yang membuat individu ini berbeda atau esa. Orang awam biasa menyebut kata “selera”, “kegemaran”, “ciri khas” dan lain sebagainya untuk memberi symbol pada suatu individu lain (obyek subyektivitas). Dengan kata lain individu obyek mendapatkan pengakuan keberadaanya dari individu subyek karena seni otentik yang diekspresikan individu obyek pada apa dan dimana saja. Maka dari itu baik penulis, sastrawan, penyair ataupun filsuf mendapatkan dan menempatkan kebersenianya karena ke-esa-anya dalam ber-seni seutuhnya.
         Dari sana secara esensi yang sehakikinya menempatkan seni sebagai rumah, sebagai jati diri dan akhirnya sebagai diri itu sendiri yang seutuhnya. Saya memandang bahwa semesta bagi seniman adalah diri pribadinya yang menyeluruh dan sejujur – jujurnya yang menjadi setitik warna bagi kehidupan yang warna – warni di atasnya. Seniman adalah penyusun yang menjadikanya harus bisa berdiri sebagai individu yang esa dengan berusaha mengkondisikan dirinya pada titik kejujuran akan sebagaimana dirinya yang lalu dengan sadar menempatkan dirinya sebagai penyusun semesta dengan kesubyektivitasanya yang angkuh dan tegas hingga berbeda nyata.


oleh : Bhara Martilla Rully Ardian, seorang rakyat.

Friday, April 29, 2011

Menghadapimu

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Menghadapimu
Kemis, November 18, 2010 jam 5:50pm

Lidahku kelu
lalu bisaku hanya diam
sambil kupandang sepatuku berulang ulang

I n d o n e s i a r a j a

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian


I n d o n e s i a r a j a
Kemis, November 11, 2010 jam 4:04am


orang lapar harus hobi tidur,
biar tangis jadi dengkur,

bayi keren harus berperut buncit gembur,
agar kurang gizi disangka makmur,

orang sakit harus berkartu free pass,
agar tak mampu tertutup jas,

anak mlarat harus sekolah gratis,
agar bupati dicoblos laris,

negara kuat harus punya koruptor,
supaya negara kelihatan makmor,

tentara harus bersenjata,
agar dengan tuduh separatis bisa tembak rakyat punya kepala,

kyai kondang harus beristri tiga,
agar dirinya sama dengan nabinya,

ormas tulen harus punya senjata,
supaya disangka punya kuasa,

pemimpin hebat harus gemar berjanji,
supaya tak menepati dianggap tradisi,

orang terkenal harus masuk bui,
supaya asoi dan penuh sensasi,

rakyat teladan mesti makan nasi aking,
supaya seperti model kelas ternama yang ceking,

orang punya Tuhan harus blajar teriak,
agar ketika ngawur tak lekas beranjak,

aparat asoi harus seperti pragawati,
biar bengis dianggap seksi.

Pengemis kondom pembungkus malu

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Pengemis kondom pembungkus malu
Senèn, November 15, 2010 jam 6:38pm


Papan reklame berebut tempat dengan ruko ruko di pecinan. Temaram lampu lampu beradu sombong. Juga pengemudi pengemudi tak mau mengalah memperebutkan lima menit waktu lebih cepat sampai ke tujuan. Hal hal rutin yang selalu menjadi saksimu berjalan tiap jam 9 malam. Di pojok pertigaan tepat di bawah papan iklan sabun colek kau selalu berhenti sejenak. Membungkukan badanmu sembari menyerahkan recehan ke pengemis buntung yang selalu menjual dirinya disitu. Tak tahu apa yang kau cari dari pengemis itu, mungkin karna kepuasan atau hanya sekedar kau merasa punya kuasa atas pengemis itu. Ya aku selalu ingat betul dengan segala tentangmu di pecinan itu. Baumu, desahmu aku hafal betul. Kau tahu manis?, aku tak pernah menggunakan setiap koin darimu. Aku menyimpanya rapat rapat di kantongku. Aku bungkus dengan kondom seharga tahu maluku. Agar kau tetap datang kemari untuk sekedar menyapaku. Aku pengemis buntung yang mahir membuatmu tersipu. Yang selalu dan selalu kau tuju.

Bukankah indah bukan melulu dramatis

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Bukankah indah bukan melulu dramatis
Jumat, November 5, 2010 jam 12:53am

Sepoi hilir di atas kakus beraroma semilir

kabut tergelincir
di atas bau kelir mondar mandir

hujan autis bernyanyi begitu mistis

menari dan menari tak tahu gubris

mulut mulut tua itu masih merancu tangis

tentang isak perawan perawan bengis

tak sama sekali puitis

bukankah indah bukan melulu dramatis

Indonesia menangis oleh kata kata dari bahasanya. Sendiri!.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Indonesia menangis oleh kata kata dari bahasanya. Sendiri!.
Jumat, November 26, 2010 jam 2:45am


Apa negri bisa menangis?, ah menurut kalimat bisa. Sungguh.
Aku tak tahu apa kata kata yang tersebut tangguh memamang mampu?, ah negriku menangis.
Oleh kata kata yang tersebut kalimat, dari bahasa negriku juga. Bahasa Indonesia kalau tidak salah. Ah Indonesia bisa menangis karna kata kata dalam bahasanya. Sendiri!. Miris!. Sungguh!.

Beta oh beta negri beta jaya di mimpi mimpi

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Beta oh beta negri beta jaya di mimpi mimpi
Rèbo, November 24, 2010 jam 11:43pm


bapak pernah bernyanyi tentang negri
nyiur melambai lambai
oh aduhai
kaya hutan hutan
juga hewan hewan

tanahku tanah surga
oh indahnya
sumber daya alam melimpah
juga laut laut meriah

nusantar jaya
oh bahagianya
anak anak bersekolah
bapak bapak bajak sawah

bapaku pernah bermimpi
nyanyi nyanyi mimpi
oh kasihani
nada nada harap
oh meratap
irama irama lapar
oh sungguh liar

bapaku menyanyi supaya tidurku lelap
bangun oh bangun
aku pilih melamun
sadar oh sadar
aku pilih tidur

negriku oh negriku
negri busung lapar
negri putus sekolah
negri lapar melapar

negriku oh negriku
tidurlah tidur
supaya hidup
mimpi dan mimpi
haha hihi
indonesia tanah air beta
beta oh beta
menangis lara

merdeka dan merdeka
oleh bedil bedil
dari penjajah eropa
juga asia
yang terampun bambu runcing
juga beling beling
kita merdeka
oh kata siapa
teman beta penguasa
juga pengusaha
beta oh beta
masih juga disiksa

oleh teman beta
biarkan saja
tidur oh tidur
beta tidur mendengkur
karna takut hidup
karna esok masih redup

beta oh beta
negri beta tipu daya
oh beta
lara oh lara.

Thursday, April 28, 2011

Disini aneh hebat.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Disini aneh hebat.
Selasa, March 23, 2010 jam 3:30am

cahaya pernah memedar di ruang ini, dahulu, kemarin, baru saja.
peluh akan usaha merona sudah, sampai letih, jatuh dan bangun lagi, lagi.
sejarah bukanlah riwayat yang kan mudah diubah.
disana, jauh direlung pernah terdengar cerita.
oleh ombak yang memeram angin, gempa yang menguat gunjing.
di ruang ini pernah terdengar, dentum pelana pelana mimpi, wangi cumbu misiu.
nasib perubahan pernah ada di sekitar ini, di tangan tangan kecil yang mengepal ke atas,
menunjuk pada puluh ratusan burung burung besi yang memerahkan tanah ini, menjatuhkan ribuan kubik malaikat maut.
selanjutnya entah kapan anak negri bebas menyebut jati diri, memilh mimpi dan asa.
lalu sekarang, entah dimulai dari kapan, bayi bayi menangis tak punya harap, wanita terkebiri norma.
apa semua akan mampu mencium aroma nasi?
di ruang ini sekarang, gelap mencekam, tak ada arah, bermimpipun takut,
di ruang ini sekarang, pantat pantat konglomerat bebas ditempeli bendera, dilukis muka wajah bapak ibumu.

KTP; kartu tamat pasti

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

KTP; kartu tamat pasti
Sunday, September 5, 2010 jam 8:22pm

Kadang hanya ingin kembali ke rumah hayal.

Duduk bersila di ujung mimpi ketidaktauhan.

Secangkir kopi penghapus pertanyaan mungkin sepadan.

Juga kicau burung-burung piaraan disangkar imaji melupakan.

Di dapur aku lihat istriku memasak ragu.

Di halaman, di bawah pohon masa depan aku lihat anak-anaku bermain was-was.

Sejurus pandanganku putih, aku tertidur.

Bermimpi akan cita-cita,

akan tujuan.

Bermimpi akan penyesalan.

Akan sangkaan.

Sejenak aku terbangun oleh berita.

Di KTP-ku tertulis berwarga negara Indonesia.

Buruh kasar.

Pasti miskin.

Pasti bodoh.

cinta oh cinta, pemerkosa!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

cinta oh cinta, pemerkosa!
Senèn, April 11, 2011 jam 5:51am

ahh nggak ada yang menarik..

politikus bicara ngawur,

rakyat ngalor ngidul!



goyang dangdut tetap pinggiran,

DPR bangun gedung sialan.

ajaran saling disesatin,



ciu melambung,

rakyat nggak boleh mabok

cuma boleh mimpi,

kucing dikebiri!



penyair rebutan puitis,

Tuhan disono sini

umat bingung jadi autis

ustad poligami!



ahh nggak ada yang menarik..

aparat bicara kotorr,

artis bikin vidio kuda kudaanl!



negara ane bingung,

rebutan payudara lonte,

gue bingung tiap hari ade yang dimatiin!



cinta oh cinta,

sumber sodomi,

pemerkosa!



luka oh luka,

ane tikam,

pecinta!

Lekas, selagi saya di ranjang cinta.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Lekas, selagi saya di ranjang cinta.
Selasa, April 19, 2011 jam 10:52pm

Saya putuskan jadi tuli, lalu buta, lalu bisu. Otak saya lumpuh. Rasa mengamputasi temaram. Di dada anak negeri terbiasa merintih. Di sembilu. Di cinta. Saya bayi nakal, yang jalang. Sosial membuat saya beridiologi. Memaksa beragama batu. Kanvas itu diam, terlukis kepincangan. Botol molotov berisi bunga. Saya terbiasa melihat yang berkuasa menampar wajah rakyatnya dengan tangan kanan dan lalu meminta maaf dengan tangan kiri. Teroris, tolong ledakan payudaranya karena haram. Biar saya mati karena tak bisa menyusu, tak bisa onani. Lekas, selagi saya tak berdaya telanjang di ranjang cinta.

Gelitik Salah kaprah

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Gelitik Salah kaprah
Senèn, August 10, 2009 jam 11:27pm

dimana semua ini berawal bila kita hanya sebuah benih yang ditanamkan.
dimana keimanan kita bila kita hanya seekor ternak.
dimana arah nurani kita bila kita hanya sebuah korban doktrin.
dimana letak hidup kita bila kita hanya sebuah asumsi.
dimana arti cinta dan kasih sayang kita bila kita hanya segurat makluk pemamrih.
dimana harga diri kita bila kita hanya makluk yg saling berhina.

apakah hati nurani selalu kalah dengan sariah dan ajaran yang terpaten.
apakah kebaikan selalu kalah dengan budaya dan kultur yang mengikat.
apakah kehebatan selalu kalah dengan ilmu ilmu yang termutahirkan.
apakah kebebasan selalu kalah dengan aturan aturan yang menorma.
apakah kelebihan selalu kalah dengan tata bahasa yang tertabukan.
apakah kejujuran selalu kalah dengan idiologi yang terbatasi.

lalu dimana letak arti hidup menurut anda?.
apakah berpikir dan mengutarakan pendapat slalu diartikan menantang?.
emosi dan egoistisitas memang melemahkan kita?.
nasionalitas dan kebangsaan kita memang membutakan kita?.
agama dan kepercayaan memang mengkotak kotak kita?.
sbenarnya apa arti persatuan yang hakiki, apa arti rasa kemanusiaan dan persaudaraan menurut hati anda?.
apakah menghujat dan saling menyesatkan?.
kita orang bebas, kita orang pintar, kita orang terhormat, pantaskah?.
pikirkan betapa besar kita, apakah sulit hanya tuk duduk bersama dan menampung perbedaan?.
apakah darah dan marah yg kita cari?.
sperti bapak bapak bangsa kita, pejuang kita, nenek moyang kita, yang menjadi besar karena keringat darah pertempuran?.
kita besar saudara, kita hebat kawan, kita dahsiat, hanya dengan berbijaksana, welas asih dan tenggang rasa.
kami tak butuh perang, kami tak butuh pahlawan, kami tak butuh pemimpin, kami sama, anda, saya, kamu, kita adalah sama, manusia..

Tingkah prasangka.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Tingkah prasangka.
Selasa, August 11, 2009 jam 1:16pm

aku membiru dilangit.
pedang kilat tak menggoresku.
aku melawan hujan deras.
badai air tak membasahiku.
ak renta disini.
lapuk oleh lukisan lukisanmu yang menghitam.
lautan prasangkamu membuat mimpi dipikirmu tentangku.
aku makhluk kecil menurut ucapmu.
hilang seiring besar keangkuhanmu.
aku tak mendendam, aku tak membangga.
langit pernah menawariku tempat yg teramat tinggi.
tp aku enggan terbang.
aku tak pantas, bukan begitu pikirmu.
aku jugg ingat tanah dan bumi menolakku juga karena prasangkamu.
lalu ditengah tengahkah aku?.
pohon dan ranting liukanmu penuh getah benalu lapar,hisaplah.
aku tak akan tertawa atau menangis.
apa aku boleh tersenyum dan diam? ak memohon.
lentera tak akan hidup bila tak dibakar.
demikian pula api akan mati karna tiupanmu.
apa kau pencipta sgala? ak tak ragu, hanya mempertanyakan.
kupas kulit ari sebuah paradigma harus menurut prasangka bukan?.
sperti lebel jaman yg pernah ditanam sejarah yang terpetakan.
tak ada kejutan disini, tak ada surprise yang mencengangkan.
aku pernah melihat sosok dilukisan bergaya realis, tapi untuk abstrak apakah obyektif mataku.
ya, pada angin ak pernah menghirup.
bau kentut dari mulutmu.
wangi petuah dari bokong dan ketiakmu.
seperti apa yang biasa aku pertanyakan tentang keputusan mimpimu.
permainkan saja, tertawalah.
denting jam tak scepat detak perutku mencari lapar.
ini busung bukan buncit,ini tai kucing bukan roti persepsimu.
kadang aku bertanya padamu, tapi lebih banyak pasrah dan meng-iya.
aku budakmu, budak mimpimu yang mempermainkanku.
ak asumsimu.
bicara pada seutas tali yang melilit durja.
nafasku tersengal.
apa aku harus menyebut namamu berulang? cukupkah matiku.
aku pernah tergopoh menjilat pipismu.
ak jugg pernah menebar gula di namamu.
tak tau hargakah aku bila bosan matamu berkedip.
memang dunia berputar tak secepat gangsingmu.
aku punya gengsi seperti ayam punya jalu.
tapi apakah cukup bila aku makluk penyujud?
tinggi itu biarlah tinggi.
aku kebal terpental, aku bosan terinjak.
balik saja kaki menjadi kepalaku biar membesar angkuhmu.
sudah kubilang aku debu ditengah topanmu.

Surga : mnurut saya.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Surga : mnurut saya.
July 30, 2009 jam 10:43pm

Dimana surgamu tuan?
Di telapak kaki ibukah?
Di atas tumpukan uang?
Di buaian kekuasaan kah?
Atau sperti sebuah permen yang coba kau iming-imingkan untk membuat anakmu trtidur?!
Membuatmu bribadah dan terus menghitung pahalamu?
Apa dengan begitu anda tenang?
Bawa saja kalkulator dan inventaris amal tai kucingmu, dasar pemamrih!
Berapa yang anda dapat hari ini? kalkulasikan, puaskah!?
Kenyataan bahwa surga ada di depan matamu mungkin kau abaikan.
Anda terlalu terbuai dengan bunga-bunga kata,seperti pedicure di jari-jari penuh cacing menurut persepsimu.
Coba pikir bila tak ada dendam, iri, dengki, prasangka? apa yang kau rasa bila welas asih kau siarkan? tanggang rasa? di mana adatmu tuan? di mana surga menurutmu? menunggu matikah? lalu bila tak ada surga dan neraka beribadah kah anda? tersenyumkah mulut kebohongan anda? pedulikah pada sesama?
Surgaku disini tuan, di hidupku sehari hari, saat ini, tak seprti permen yang kau tunggu untukmu bisa tertidur, aku tak mencari hadiah setelah mati, disini surgaku, saat ini dan ibadahku tak pduli dengan mati, neraka atau surga, saya acuh..

stagnansi!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

stagnansi!

ketika kita brdiri pada suatu situasi yang kita tak mampu hadapi,
dimana kita terlalu kikuk hnya tuk skedar merasa,
disa'at kita tak mengharap tuk tiada ataupun ada,
ketika kita brdiri pada tepian kebohongan yang terbenarkan,
semua begitu tidak terbatas,
membentuk sebuah ambigu megah yang masal,
yang besar,
yang agung,
yang menguatkan tuk menjadi kekal,
yang memutus asakan tuk menjadi lekang,

Ah..

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Ah..

Saya takut cepatnya waktu menyamarkan impian muda saya,
dan saya pun takut pesatnya jaman melekangkan cita cita tua saya,
saya sudah kehilangan impian muda saya,dan saya pun terancam ketidakmampuan mengejar cita cita tua saya,
saya tak bisa melawan,
raga pun tak mampu memberontak,
sebuah bentuk korban ketidakbijaksanaan dari egoistisitas lingkungan yang saling mengasingkan dimana memohon diartikan menantang..

Hanya mencari,salahkah?

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Hanya mencari,salahkah?

Aku hanya mencari sebuah kebenaran.
Arti hidupku hanya mencari.
Tanpa berhak memvonis.
Aku hanya berpendapat.
Tak kusikapi hal lain.
Aku hanya membahas kegelisahan.
Aku tak mengusik semua orang.
Aku hanya bertanya.
Belum tentu ak salah jika tak menurut.
Aku bukan peniru.
Aku juga bukan pencipta.
Aku hanya menyikapi.
Aku tidak memberontak.
Aku tidak menyalahkan.
Aku hanya berfikir sejenak.
Bermain dengan benakku.
Dan aku bersaran bukan berpendapat.
Benarkah semua ini?.
Salah jika menuntut dan percuma bila menentang.
Arti sbuah hidup yang terkekang.

Benar tak harus yakin!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Benar tak harus yakin!

Ke kanan!!
Apakah kamu ikut ke kanan!?
Pasti benar!!
Percayakah kekanan it benar!??

Pernahkah kamu tau bahwa itu benar atau tidak???
Benarkah orang yg mengatakan kanan it benar adalah benar?!?
Benarkah dia yg membenarkan kanan it benar mengetahui sebuah kebenaran??huh!

Ataukah hanya mengira ngira??
Menerka??huh!
Sempit kali orang itu!!
Lalu kenapa kmu bimbang??
Ikuti saja!!dasar babu kebenaran!
Mudah ditipu dengan benar!

Pecundang benar!!
Sudut remeh suatu peradaban yg mendambakan sbuah kebenaran.
Memalukan arti sbuah kebenaran,
sebuah prjuangan pembuktian...

Wednesday, April 20, 2011

Diam

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Diam

sekarang kamis,besok kamis,lusa kamis,dan kami hanya menatap..
buka mata dan sekarang malam,nanti malam,besok malam,dan hanya menatap..
ingin berlibur,tp sekarang libur,nanti libur,lusa libur,dan hanya menatap..
ambisi untuk melakukan sesuatu,sekarang giat,nanti giat,kemarin giat,dan hanya menatap..
pernah punya cita cita,dulu bermimpi,skarang mimpi,sepuluh tahun lg mimpi,dan hanya menatap..
sekarang tertawa,tadi tertawa,kemarin tertawa,lusa tertawa,dan hanya menatap..
mungkin sering sedih,tadi pagi sedih,hari senin sedih,lusa sedih,dan hanya menatap..
mungkin nanti mati,sekarang mati,lusa mati,tadi mati,dan hanya menatap..
mendamba insyaf,tadi beribadah,lusa bribadah,nanti bribadah,dan hanya menatap..
suka mengumpat,dua hari yg lalu mengumpat,bulan depan mengumpat,dan hanya menatap..
diam,sering diam,nanti,esok,dan (mungkin) seterusnya..

Saturday, April 16, 2011

Orang hebat lahir dari bak sampah

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Orang hebat lahir dari bak sampah kenormalan yang dengan sadar dan berkesadaran mengais kewajaran dengan mata apa saja yang kemudian tidak patuh melainkan tahu letak yang menjadikanya pantas dalam kepatutan. Orang hebat terkesan mati bila dilepas di mall dan bergoyang riang di kolong kolong sampah yg dianggap bau. Orang hebat lahir dari rahim ibu kebiasaan yang lalu dengan rendah hati menjadi pembangkang.

Friday, April 15, 2011

bersama kucing, anjing dan pohon kaktus: tertawa!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

bersama kucing, anjing dan pohon kaktus: tertawa!

Sebuah bayi mengaji di malam jingga kemarin siang. Di ujung sana ruh ruh mencari ruang ruang. "Siapa bapakmu?". Detik setelah detak memaksa gergaji ngakak memenggal kepala kepala syariat etika keberbusanaan. "Wajahmu melebam!", teriakan dari sudut gang gelap. Lalu sepasang nenek asik mencabuli dirinya diketerasingan. Bulan jatuh malam itu. Menyetubuhi bumi. Dan lalu pasang surut menjadi warna warni. Bayi bayi menjadi bergoyang. Mengenal yakin. Mencumbu cinta. Tangan tangan itu bersambut di perut buncit pelacur. Dikalungkanya laso kesadaran di lehernya. Tepat jam empat pagi dia jumpai mani, kotoran, liur dan dirinya berdendang lagu pemakaman bersama kucing, anjing dan pohon kaktus. Tertawa.

Thursday, April 14, 2011

Supaya rasa tak besar kepala

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Supaya rasa tak besar kepala
by Bhara Martilla Rully Ardian on Senèn, November 8, 2010 jam 12:56pm
Bhara Martilla Rully Ardian


Supaya rasa tak besar kepala


Masalah hati,
hanya masalah pikir yang mengenal luka,
yang berbumbu iri, marah dan nestapa.
Maka aku ambil dua gelas kedap rasa,
dan lalunya aku pisah pisah supaya rasa tak besar kepala,
dan bila rasa masih tak mau dibatas karnanya,
aku dekat hingga dekap kuping rasa, kubisikan; "aku ingin sadar nyata, jauh dari mimpi masalah hati yang merona, walau indah aku tega: nyata".

Selamat pagi Negari

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Selamat pagi Negari
by Bhara Martilla Rully Ardian on Senèn, November 8, 2010 jam 2:18pm
Bhara Martilla Rully Ardian

-Selamat pagi Negari-


Selamat pagi, selamat menjadi babu babu zaman, mengitari kesibukan yang membuat sibuk menjadi ukuran, ayam ayam berkokok lalu malas malasan. Di sana, di pagi buta merona. Pundak dipaksa memangku anjing anjing bernama kelaparan. Kutengok tetangga sebelah minum teh dan membaca koran berisi ceritaku, cerita kami. Bernegara menurutku hanya kutukan. Maka dari itu anak anak mati gizi, lalu tak sekolah, dibilang bodoh dan tak berusaha. Ketahuilah bernegara hanya tarian eksotis, bagimu, bagi kita. Selamat pagi Nusantara, masuk sumur dalam dan berteriak tolong, tiada guna. Sungguh anjing lalu ayam lalu cacing beranak pinak di perut perut itu, juga di otak otak itu. Sungguh.

Hari

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Hari
by Bhara Martilla Rully Ardian on Rèbo, March 31, 2010 jam 7:58am

hari ini tak ada suram, terlalu baik untuk sekedar abu abu.
ya usia kalam mungkin tak seindah estetika,
persuasif hanya mimpi sekarang, entah berapa patah kata tajam keluar dari mulut rentenir kepercayaan.
kami tak kan pernah bersandar sekarang, terlalu mimpi.
setidaknya satu dua langkah kedepan akan memerlukan peluh yang tak terbayangkan.
dan keberuntungan tak kan semanis janji,
kami pernah menegur bijak, dengan menipu tuk membuat badai seindah pelangi.
dan semua menggelap, dan semua menginjak, ya semoga ketidakpastian akan memberi sedikit jalan,
menuju pada apa yang kami sangka pantas, sebuah kelayakan yang ditandai dengan dengki, dengan iri, tapi kami berjalan santai tanpa kewajiban.

Do'a

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Do'a
by Bhara Martilla Rully Ardian on Saturday, April 17, 2010 jam 9:04am

Tuhan Kau pernah angkuh; membatu membiarkanku membenci.
Kau pernah meninggalkanku dan membiarkanku membenciMu.
Tuhan hubungan kita tak pernah resmi.
tak pernah mengikat kuat untuk menyimpulkan suatu kepastian.
nasib terburuk mendorongku untuk semakin membenciMu-dan Kau: diam.
lalu ketika ku senang, kemana Engkau? ak menantiMu tuk membenciMu lagi.
Tuhan rasa saling sayang kita memang jarak antara menjauh dan hilang.
titik dimana percaya padaMu adalah kebencian.
Tuhan cinta kita memang tak pernah dekap.
aku bicara dan Kau menuli, aku melihat dan Kau membuta, begitu sebaliknya.
Tuhan kita bahkan tak pernah mesra.
ak menjauh dan Kau tak berusaha mendekapku.
Kau membuat aturan dan aku selalu menentangmu dengan argumen yang mendasar karna benciku.
Tuhan ak tak pernah bersimpuh kusuk tuk menyembahMu.
tak dibarisan terdepan, tak dilingkungan kaumMu.
Tuhan hubungan kita tak pernah melalui gerbang resmiMu.
ak umat kecilMu yang tak berhenti membangkang demi kebenaran menurutku.
ak umat yang paling mencintaiMu dengan caraku.
meletakanMu di hatiku, yang dalam hingga tak seorang pun tau.
begitu pribadi sehingga aku bebas menghujatMu.

Silahkan beri judul apa saja.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Silahkan beri judul apa saja.
by Bhara Martilla Rully Ardian on Rèbo, May 26, 2010 jam 7:15pm

Jiwa, pikir, hati dan mulut telah lelah menghujat,
tentang arah, tujuan, nasib, renungan, cacian, permintaan, do'a,
apa itu berarti tanya?!,
bila yang dituju adalah angan,
apa itu berarti tujuan?!,
tempat yang bisa diduduki, atau sekedar merebahkan diri,
lalu dimana letak akhir?!,
ujung peluh, wajah lelah oleh tawa.

Wednesday, April 13, 2011

Silahkan kalau menyebutnya hujan

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Silahkan kalau menyebutnya hujan.
by Bhara Martilla Rully Ardian on Kemis, May 20, 2010 jam 4:20am

Gemericik air, riuh hujan,
tak semua membutuhkan muasal, tak perlu tanya.
Tentang aroma, tentang nyanyian,
cukup dengan menyebutnya hujan, yang datang dari ketidaksengajaan, atau kau boleh menyebutnya rencana,
yang datang dari tangan-tangan mistis di ujung ketidakberdayaanmu,
sebuah pelukan hangat untuk ketidaktahuanmu.

Fiksijumbo?

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Fiksijumbo?
by Bhara Martilla Rully Ardian on Rèbo, Oktober 27, 2010 jam 12:49pm

Malam itu, tak terlalu larut seingatku. Aku masih saja duduk terbatu di teras hatimu. Padahal tanganmu sudah melambai memberi tanda bagiku untuk maju bercumbu. Tapi tetap saja aku membatu, mataku berkaca-kaca, hatiku ragu. Tak beberapa saat aku lihat kau marah dan berlalu. Kujumpai lelaki itu mulai merancu, gombal sana sini tentang keabadian. Bualanya aku paham betul karna telah kupelajari sejak beberapa tahun lalu. Akhirnya pria itu membuka pintu kamar dan memandumu masuk di dalamnya. Aku tak sempat menyesal. Tak sempat. Melihatmu mabok oleh bualan cinta. Di sini, masih di teras hatimu. Kurangkai beribu kata maaf akan egoku. Aku berlalu di pagi itu, merapikan kamarmu dengan gegas. Kutuliskan "Maaf karna belum sempat aku kenalkan dirimu pada hatiku, tak kusentuh secuilpun dirimu semalam, entah kau menyebut aku pria apa. Aku berlalu, tak usah menangis karna aku tak sejahat inginmu." di selembar kertas kenangan agar kau tahu letak salahku.

-selamat hari pahlawan-

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Selamat hari pahlawan
by Bhara Martilla Rully Ardian on Rèbo, November 10, 2010 jam 3:25am
Bhara Martilla Rully Ardian

-selamat hari pahlawan-


Kalau dulu pahlawan maen darah,
lalu 5 tahun brikutnya pahlawan harus bisa terbang ke segala arah,
lalu meningkat harus ahli retorika sampah,
selanjutnya harus pernah masuk bui rumah,
terbaru wajib punya rekor juara korupsi tingkat daerah,
lha cilakanya orang kelaparan dan tak mampu sekolah dilarang dijadikan nama jalan jalan,
bandar bandar udara dan pelabuhan,
kalau begitu selamat hari pahlawan,
di negeri penuh "superman".

Semua berawal di

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Semua berawal di
by Bhara Martilla Rully Ardian on Jumat, November 19, 2010 jam 4:32am

Kekasih pikir turun melewati bibir bibir, dan lalu hati hati jadi penuh tabir. Ucap ucap dari bibir, lalu hati hati menjadi getir.

Lelaki

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Lelaki
by Bhara Martilla Rully Ardian on Rèbo, March 31, 2010 jam 6:09pm

siapa sangka lelaki tak hamil karna tekan,
siang dia kan meronta di nadir zaman, lalu malam dia tak terpejam seindah bintang,
usia kandungan lelaki lebih lama dari umur piramid, lebih durhaka dari Malin,
setidaknya sampai dia mengucap peluh, tapi tak kan keluar seiring gengsi setebal tabirmu,
lelaki itu mengunyah mimpi, setiap langkahnya adalah suap bagi mulut-mulut cintanya,

dia akan mengeluarkan perut takdir sebagai perubahan,
lalu janinya akan berteriak lancar dan memanggilmu,
memberikan surganya ditelapakmu,
tapi lelaki itu tersenyum mendengarnya,
lelaki itu hitam ditengah sangkamu, ditengah pilihan menjerat lehermu atau tidak.

Suatu sa'at, pernah.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Suatu sa'at, pernah.
by Bhara Martilla Rully Ardian on Sunday, April 18, 2010 jam 5:42am

hujan menangis melihatmu mengingkari manis yang kau ucap, setidaknya masih terngiang.
apakah buruk raup sepenting itu sehingga menutup arti yang hakiki: tentang sebuah ikatan.
kau lihat binar itu?, melupa akan tingkah yang semanis ucap.
setidaknya kau pernah mengumbar mesra sewangi tuturmu.
di bawah hujan itu kulihat dia begitu bodoh, mengharapmu tuk sekedar menyentuh tubuhnya seperti apa yang jamak kautawarkan.
setidaknya kemarin sejak kau sunting ikrar dia menjadi milikmu.
sebelum kau pergi meninggalkanya tanpa sepatah penjelasan.
dan dia jatuh kembali ke prasangka hitam akan arti kesetiaan kaumu.

.jamak di depan.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

.jamak di depan.
by Bhara Martilla Rully Ardian on Kemis, April 29, 2010 jam 6:52am

biarlah beban memberat sekarang,
bertubi kekhilafan jaman menguat sekarang,
memaksa senyum memalsu sepalsu palsunya,
tak ada bantuan, masih, masih tak ada,
hingga redup relung do'a, meronta pada nadir yang nyata,
terinjak, terhina, ahh karna kekuatan dunia bebas menginjak,
aku, kita, semoga esok datang melambat, membiarkan malam menidurkan pikir yang terlampau beban

Dua pertanyaan sebelum hajiku

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Dua pertanyaan sebelum hajiku
by Bhara Martilla Rully Ardian on Selasa, February 1, 2011 jam 7:47am

Memulai ketidakpercayaan dari bunga bunga. Di surga tak harus berbaju putih semua. Aku suka jelaga di pagi sepertiga. Aku tidur dan lalu mendaur. Ayam, anjing, kiyai sama saja. Antar aku ke Gangga. Memberikan kepalaku pada buaya karma. Lalu gergaji hatiku menjadi lima biji sama rata. Untukmu, untuknya, untuk dia, untuk dia yang satunya dan untuk belatung di bawah sajadah tuan itu. Lalu kakiku bakar saja, setubuhi badanku empat kali walau aku tak berwajah. Tak bermani. Di masjid tepat setelah subuh dingin itu. Lamarlah kedua tanganku seharga mahar dua ribu perak. Lalu ucap sah semurah janji dan doaku. Kau lihat kasih?, aku hanya ingin mati di Mahameru menghisap racun Gustiku. Jonggring Salaka jam 6 sore itu. Pelaminanku. Dua pertanyaan sebelum hajiku.

Lalu tega

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Lalu tega
by Bhara Martilla Rully Ardian on Sunday, March 6, 2011 jam 4:13pm

Aku mengenalmu sebagai hampa. Dan lalu turun menjadi sapa sapa menjadi siapa siapa. Aku malas melukis siapa di hampa. Tak beberapa lama setelah jumpa jumpa. Kamu jadi dia. Jadi sia sia. Jadi tanya. Karna titik titik jadi koma koma. Aku bimbang pada rona rona yang kemudian tersebut rasa. Di cahaya, di hitam, di apa saja. Cerca dan gembira. Harap dan luka luka jadi jera. Pada tanda tanda. Gelengan kepala berbuah sangka sangaka. Kesekian kali aku kecewa pada nyala nyala. Hai hati yang muda, sepoi aura aura aku suka bahaya. Menerbangkanku pada fana fana yang kemudian mengehempaskanya pada jingga jingga. Fatamurgana. Hati hati pada rasa. Aku ulangi hati hati pada rasa rasa yang tadinya hampa menjadi tega.

gelap di iman yg menanti terang.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

gelap di iman yg menanti terang.
by Bhara Martilla Rully Ardian on Jumat, September 18, 2009 jam 11:33am

petang itu gelap,mendung seakan trlalu angkuh untuk berlalu.
gelap,bagai tumpahan debu tambora yg meletus mengalahkan raja siang 269 tahun yg lalu.
kelam,sperti ratapan perut perut pribumi yahukimo yg kelaparan.
dan redup oleh ratapan anak anak jalan yg diperkosa ayah bangsanya.
pernahkah durja ini terdengar olehmu?
tergelitikkah perut buncitmu?
oleh kenyataan palang palang yang menghambat jalan.
oleh jerit batin yg sekarat tertelanjangi beban?
apakah itu yg kau sebut terang tuanku?
berjuta bintang pernah menyinar dari ucapmu.
seperti petuah tuhan agung yg kau junjung.
aku,kami disini,
menagih terang yg kau janjikan.
sampai tenang kami berakhir.
di lontaran ucap yg telah lama mati.
di gerak terakhir tenaga kami yg renta.
di dekap trakhir tangan kami yg regang.
kami yg tak pernah menjadi besar.
kami yg tak pernah menjadi agung.
kami yg tak pernah menjadi tuhan.

apa.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

.apa.
by Bhara Martilla Rully Ardian on Selasa, September 15, 2009 jam 12:10pm

kami yg tak berkesempatan disini.
terdiam melamunkan perasaan yg terkuatkan oleh imaji.
kami yg tak bertakdir disini.
diam meringkuk pd tumpuan simpuh yg mengeras karena prasangka.
kami butuh letupan!,momentum yg mengarak kami menuju garis depan.
dimana kami bangga menegakkan kepala kami.
kami sekumpulan orang yg mencari benar.
benar menurut bukti yg kami junjung tinggi.
di sana kami pernah bergelut dgn nurani.
sekali lagi mengiya untuk melantang.
bahwa kebenaran memerlukan perjuangan pembuktian yg jelas.
yg tak mengenal ambigu dan bias yg berpihak.
kami tak berusaha menyalahkan budaya yg mengatur kami.
kami jg tak menyalahkan ahli agama yg mengatur kami.
ya,kami adalah manusia yg mencari.
mencari dimana letak benar yg membenarkan kesalahan.
mencari salah yg menyalahkan kebenaran.
kami suka berjalan di tempat yg semua orang enggan melintas.
dimana nafas menjadi berat.
dimana langkah menguras peluh.
dimana berat melapukkan kaki.
dimana dingin merasuk tulang kami.
ya,kami suka mencari di tempat yg sudah terpatri benar oleh orang2 sebelum kami.
kami tak mencari sebuah pengakuan.
tak mencari sbuah perdebadtan.
tak mendobrak tradisi yg terpatrikan.
kami hanya mencari di tempat yg tersamarkan.
tempat yg telah menjadi benar karena persepsi ketabuan.
karna menurut kami letak kesalahan terbesar dalam hidup adalah menganggap benar sesuatu yg mungkin saja salah.
kami tak menuntut.
kami hanya suka pd yg terbuktikan.

Kumpulan.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Kumpulan.

by Bhara Martilla Rully Ardian on Kemis, August 6, 2009 jam 7:46pm

drajat kubro kaum tak berarwah,disini,jiwa tua yg tertatih.
mahameru berduka saat itu,ketika ruh renta memekik ambisi,tidak keras tp cukup meletup.
merenta pd ujung nadir di dingin cemoro sewu,menduga do'a di sendang kawi.
ketika kedaton menguning tergesek sepoi angin,begitu sunyi menurut kata.
bisakah kau uraikan?dia brkata,keadaan kami tak sesejuk buah sangkamu,letih.
bunga abadi smerbak di mahapena saat itu ,apa kau jg menyadari wangimu tertiup anginmu?kami ruh lapar.
tarian mata langit terbang membahana di gaung sirah aturan yg trsirat lewat goresan awan putih di kebiruan.
kami makhluk yg tak pantas menghujat,kami hanya brsilang pendapat,mengertilah.
cacing buluk mati membiru,kafannya utuh tak tersentuh dosa,sebaliknya pamrih membawanya di derajad tuhan,sembahlah.
keruh pikirku karna sesuatu yg mengulang dan terulang,jiwa tua tak akan menang atas sajian makanan zaman yg berlari.
entah kita harus meminta tolong pada siapa,kami jiwa tua,jiwa yg dianggap menjompo oleh yoni yoni naga muda yg menggurat jelas,sejelas perlawananya.
di puncak jawa kami pernah memekik,kami suka peluh dan kringat ini,jiwa kami renta memang,tapi kami suka alam dan detailnya,kami cinta sunyi.
bukankah jiwa tua sperti kami terabaikan?tapi kami tak peduli,jutaan bukit ini sahabat kami,peluh ini kekasih kami,dan puncak itu Tuhan kami,kami tak pernah berharap wangi di jasad kami kelak,kami tak butuh status yg meng-emas di nisan kami.
bangga ada di diri kami,teguh ada di jiwa tua kami,dari kami pada kami.

Bahasa menurut saya.

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Bahasa menurut saya.
by Bhara Martilla Rully Ardian on Sunday, July 12, 2009 jam 12:05am

Mungkin kiasan tak menjelaskan alasan,
mungkin sajak dan puisi pun tak membentuk arti,
kita hanya makluk yang dibatasi ketabuan bahasa yang hakiki,
kita tak pernah berbesar hati untuk merasa,
bertanggung jawab untuk mengata,
dan berbijaksana untuk mengiya,
kuatkah spektrum kepastian adat berbahasa yang juga dibuat oleh manusia yang entah siapa mendoktrin kita yang mengaku manusia?
Pantaskah bila segala sesuatu dipecah dengan ya atau tidak, benar atau salah, haram dan tidak haram, dan segala multiple yang dibenarkan dari segala hal,
lalu dimana letak makna hidup?
Dimana arti gerak yang menandai hidup?
Pergerakan yang mematri kebenaran, perselisian argumen yang menentukan perpecahan, atau penganggukan masal yang menyatakan kemusyawarahan, atau pun bahkan keesaan yang mendukung ketunggalan,
dimana semua itu?
Hilangkah?
Atau sembunyi seperti banci banci di kolong kendi?
Kelamin kelamin yg tak punya keindahan erotis!
Kotoran kotoran yg tak punya bau terasi!
Kolor kolor pesuruh!
Budak budak rapuh!
Ahh...malas sudah,tak pantas bahasa menggorok dirinya dan tak pantas bahasa menggorok nadi pengertianya.

Monday, April 11, 2011

Pemuda tua di rumah pohon tinggi julang

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian


Pemuda tua di rumah pohon tinggi julang
by Bhara Martilla Rully Ardian on Kemis, November 25, 2010 jam 2:29pm
Pemuda tua di rumah pohon nan tinggi julang. Di daun, di pohon, di atas palang. Menyanyi lagu negri, begitu sayu, ngilu. Anak anak rindu di kalbu. Pemuda tua menanak nasi sangka. Istrinya jiwa jiwa tanya. Oh pada air dia minta api. Pada kecewa dia bertuhan. Pemuda tua di rumah pohon nan tinggi julang. Menanam onak di daging. Memelihara anjing di hati. Lalu jiwa jiwa tak nyaman. Beradu adu mendamba pergi. Oh pemuda tua melangkah. Pikir menuju pikir. Tak makan, tak minum, tak menikah, tak beranak. Julang julang tembok tinggi, lalu kota kota tak dihuni.

Dan dia masih menyuruh kita senam SKJ serta minum susu ibu di pagi itu

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Dan dia masih menyuruh kita senam SKJ serta minum susu ibu di pagi itu
by Bhara Martilla Rully Ardian on Jumat, December 17, 2010 jam 5:26am

Kenarsisan sinar tersier di kemilau pilihan laku. Sepasang rasa sombong dan congak menggebu mengecat segalanya menjadi ungu tua. Selintas sinar terang mengacaukan prinsip. Lalu liang liang katak berisi air sembilu bercampur ambigu rasa. Tertata papan catur di teras mulia tukang ojek di depan komplek. Dua sahabat saling tikam pion demi raja yang hanya mampu bergerak selangkah. Kelelawar keluar siang hari. Malam dipimpin harimau tuli sedang siang diratui musang buta. Di mall terlihat tante dan om tak tahu umur. Segala kewarasan hanya ketidakwarasan yang belum disadari. Inilah hidup, ada yang makan nasi dan ada yang membuang emas. Dan aku? Ah dan aku. Tertawa sesukaku karna lucu menurutku. Banyak yang rindu kedataran. Kau lihat sepasang muda mudi itu? Hahaha, lucu, sangat lucu. Lalu aku pilu. Menjadi tak nyaman oleh kerja bakti gotong royong di pagi yang tertulis jam 7. Padahal aku dengar info jam 9 ada banjir mimpi buruk. Dan dia masih menyuruh kita senam SKJ serta minum susu ibu di pagi itu.

-anjing hutan melolong jam 7 pagi, telanjang!-

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Anjing hutan melolong jam 7 pagi, telanjang!
by Bhara Martilla Rully Ardian on Jumat, November 12, 2010 jam 2:56pm
Bhara Martilla Rully Ardian

-anjing hutan melolong jam 7 pagi, telanjang!-


Jam berdenting di jam 7 pagi itu. Anjing hutan masih melolong. Kelelawar hitam keluar goa turun ke ladang candu. Hai perempuan berasap di sana, aku ajak kau ke Mandalawangi, melihat hamparan bunga abadi. Lalu kita ke Hawai, berselancar dengan bak mandi. Tanpa busana. Seperti anjing kota yang minum susu. Jam berdenting jam 7 pagi. Membangunkanku disaat sepi. Suara TV menghantarkan mata terpaksa melotot. Anjing hutan sekali lagi melolong. Samar samar kulihat cermin memberi isyarat: bangunlah.

-lelaki bosanofa di redup malam lajang-

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Lelaki bosanofa di redup malam lajang
by Bhara Martilla Rully Ardian on Saturday, November 13, 2010 jam 3:06am
Bhara Martilla Rully Ardian

-lelaki bosanofa di redup malam lajang-

Merintih suara di ujung gang, di pinggir kali. Dari pria pria seumuranku. Menggali bait bait lembut kapas dari kasur yang coba dibakar perlahan. Bau itu irama. Lalu malam dan secangkir kopi tawa melantun bincang. Di malam kejujuran. Pria pria seumuranku membicarakan usik yang mengusik. Tawa getir lalu senyum itu menjadi sejadi jadinya. Ya lelaki bosanofa di redup malam lajang. Menjadi pria. Menjadi rasa. Irama oh irama. Esok kan lebih berat dari asap yang kau buat bulat. Ada tawa yang mesti kau tawai. Cangkul cangkul lelaki bosanofa, maka lalu pria pria meraba. Belajar membajak dan membangun rumah sederhana. Di tepi kali di ujung gang bahaya. Banjir dan pengamen memintamu sedia recehan. Lalu susu bagi anjing piaraanmu. Juga buku dan pensil warna untuk darah dagingmu.

-Tak ada Tuhan di jam 12 siang itu-

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Tak ada Tuhan di jam 12 siang itu
by Bhara Martilla Rully Ardian on Senèn, November 15, 2010 jam 9:05pm
Bhara Martilla Rully Ardian

-Tak ada Tuhan di jam 12 siang itu-


Tak ada Tuhan di jam 12 siang itu. Tepat di bulan Juni 12 tahun silam. Semuanya anjing. Tak pernah ada Tuhan siang itu. Tak di abu tulang tulang itu. Tak di peluru peluru itu. Tak di darah darah itu. Lalu dentum dentum mengingatkanku di Nanjin, di Hiroshima, di tepi pantai Badung, di kamp kamp konsentrasi Holocaust, di Kupang. Api api itu membawaku kembali ke masa genosida Pol Pot dan khmer merahnya, masa Ariel Sharon yang membantai masal warga di Sabra dan Shatila, lalu Joseph Stalin dan kebijakan politiknya. Tak ada suara Tuhan siang itu. Ketika manusia menjadi Tuhan berprilaku anjing. Demi memakan tanah, lalu logam dan lalu laut. Kau tahu yang menarik dari semua itu?, semuanya tertawa. Tertawa!.

Aku bunting!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Aku bunting!
by Bhara Martilla Rully Ardian on Rèbo, November 17, 2010 jam 10:34pm

Aku pria bunting,
di perutku Tuhan Tuhan mengering,
lalu setelahnya setan setan terlahir sinting,
dari tubuhku,
oleh pikirku,

aku pria bunting,
di perutku jutaan anjing,
lalu setelahnya lahir nabi nabi menangis nyaring,
dari angkuhku,
oleh nafsuku.

Jaman edan!

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Jaman edan!

by Bhara Martilla Rully Ardian on Saturday, June 27, 2009 jam 1:25am

Mimpi atau trjaga!, pilihlah,,
Maukah kau mengingat,
pada tulang tulang yang melepuh oleh asin kringat sejarah,
oleh bunga mawar harum mesiu untuk gadisku,
oleh keringat darah yang meruncing membelalak penjajah,
konflik di pemerintahan, dentuman carut marut sukarno yang berbuih mempertahankan de factonya,
oleh keputusanya yang secara sepihak menguliti Tan Malaka, menghapus Muso dan Amir,
di Bandung negeri berapi,
di Surabaya Bung Tomo melantang,
lalu siapa yang kau ingat di Papua?
Di Timor Timor?
Serakahlah yang teragungkan untuk menjadi pejuang yg esa,
siapa pemenangnya? saya,aku, atau kami?
Tasbihkan belatung yg meraja,
seperti konflik di Vietnam dari kaca mata paman sam,
seperti kepala Indian yg dihargai perak recehan, lupakan Navajo, lupakan milisi Palestin.
Kita dijaman mimpi,
pilihlah,
terjaga atau mimpi,
diri tak mau dibenarkan dan sejarah tak pantas ditabukan,
guratan,
apa kau melihatnya?
Rintihan korban genocide dan slavery,
apa kau tak ingin menjadi Gandhi? Mandela?, atau bahkan si black robin hood Malcolm X?
Tindaslah kaummu, ulang manisnya sodomi penyiksaan di Nanjin, Babil, Sodom, Hiroshima dan Auschwitz,
pedihkan lagi dengan menampar istrimu, perkosa anak cucumu,
ingatlah,s ejarah adalah rules of the life!,
percayakah?
Terjaga atau brmimpi, pilihlah..,
lalu kemana tuhanmu,
dimana jawabanNya saat jutaan yahudi dikamp-konsentrasi menangis darah karena keacuhanmu,
saat ribuan jepang di hiroshima dan nagasaki mati karena sejarahmu,
apa mreka musuhmu?
Manusiakah engkau?
Menggeliat, lalu putuslah tali beban kemanusiaan,
kemana dewamu, kemana ego dan kenarsisanmu?
Trgorok nafsu nasionalismu,
dimana sosialistismu,
mati seiring kebangsaanmu,
manusiakah?
Ingat, terjaga atau brmimpi, pilihlah..
Itulah diri kami, binatang yang bermimpi menjadi malaikat, dan membayar smua itu,
dngan patuh!
Mematung!
Bodoh!
Buka matamu, ingatlah, terjagalah, dan bermimpilah hanya untuk esok,
menyelamlah kebawah,
agungkan yg dihilangkan,
agama tak slalu benar,
konspirasi sekuat apapun tak mengkokoh,
lepaskan,
buka matamu,
terjagalah,

Yang rajin ditengok rakyat syair :

Tulisan