Mayat Tak Terbaca
oleh : Bhara Martilla Rully Ardian
Matahari mulai menabrak pegunungan dan lambat laun mulai hilang kalah dengan gelap kedap kesunyian malam. Aminah tertatih menghadapi terpaan hidup yang kian sayu. Ia hanya berbaring di atas pembaringan kayu jati yang telah termakan usia, di sampingnya itu diam tanpa suara rumpun keluarganya. Mereka sudah pasrah, tak tahu dan terus membisu.
Disekeliling pembaringan itu keluarga Aminah terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama, keseluruhanya tidak beda sebuah lingkaran dimana Aminah sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk menjaga dan memenuhi keinginan Aminah belum hilang dalam masa sesingkat itu.
Di sudut ruangan mata yang kemerah-merahan mulai meneteskan setitik air mata. Mata itu milik Siti, ibu dari Aminah. Ia terus menerus terbenam dalam kesunyian dan keputus asa'an. Terus merasakan penderitaan yang menyesakan sukma.
Tapi dia tak habis pikir, mengapa Tuhan yang kata orang-orang hidup di dunia yang penuh kepalsuan ini Maha Adil, Maha Bijaksana dan entah masih banyak Maha-Maha yang lain, tega memberikan cobaan yang teramat kelam.
"Oh Tuhanku, aku ini hidup hanya dengan satu anak. Anak itupun aku dapat dari suamiku yang telah termakan tanah, tidakah Kau kasian kepadaku?. Mengapa Kau cobai hambamu seberat ini?"
"Oh anaku Aminah, sadarlah!. Mengapa harus kau yang menanggung anaku??".
Ibu itu mencoba terus berdoa, walaupun ia sudah terlampau benci kepada Sang Pencipta.
Sudah dua minggu ini berlalu, Aminah tetap diam tergolek, ia masih tak sadar. Sampai dibawa ke rumah sakit seminggu yang lalupun pastilah Aminah tak tahu. Memang karna sudah tak sanggup diobati dirumah, ibu dan keluarga Aminah merawatinya di rumah sakit yang paling ternama.
"Tidakah kau tahu Siti! Ini rumah sakit paling ternama. Sudah jutaan orang sakit parah terobati di sini!", ucap tetangga Siti yang memang sudah punya bawaan sok tahu walaupun banyak yang mengakui dia bodoh.
Tapi mungkin hanya kebodohanlah yang membuat Siti yakin anaknya tertolong. Memang semua orang sudah pasrah, mereka tahu itu semua sudah tak mungkin.
Dokter sudah menolak merawat Aminah, keluarganyapun sudah pasrah dan bingung, juga kasihan.
Siti tetap bersikukuh, "Aminah dapat selamat!! Aminah dapat selamat!!", sambil bersungut sungut Siti berteriak menggerutu.
Hari-hari Siti mulai kacau. Ia sudah gila rupanya, bahkan orang gilapun tahu itu semua gila. Siti hanya bermimpi. Ia merasa ia Tuhan barangkali, dengan satu gerakan, bahkan tanpa gerakan bisa melakukan sesuatu.
Semua orang bahkan semua hal mengejek dan mencela Siti. Mereka menggerutu, batinya tergolek, terkoyak-koyak tak berwujud, tak berupa. Mereka bingung, mungkinkah ini fenomena, tapi mungkin ini lebih mirip kepalsuan, kediktatoran, menggurui, kesoktahuan, kesomboongan dan kemulukan hidup. Mereka tak percaya kasih sayang, tak percaya cinta. Mereka hanya tahu satu hal. Siti gila, ia gila!!.
Apa tidak gila, ia merawat mayat yang sudah busuk empat hari, ia terus menciumi mayat yang sudah sekarat. Belatungpun sampai tak mau menjilatinya. Mereka jijik, belatungpun jijik. Ayampun jijik.
Mereka dan semua orang boleh berkata Siti bodoh, Siti gila. Tak waras. Tapi mereka juga gila, mereka sampai tak tahu bahwa segolek tubuh sudah menyusul Aminah. Mereka terus menyerca. Sampai tak tahu rumah Siti memancarkan dua sumber bau busuk dari dua mayat. Tapi mereka dari mereka tadipun juga gila. Ia tak tahu bahwa mereka itu tadi telah tergolek menjadi mayat-mayat tak terbaca. Tak mengurusi. Tak tahu urus. Dan mereka dari mereka itupun lagi juga gila. Ia tak tahu banyak orang dari mereka, dari merekanya mereka, dari merekanya mereka itu tadi dan dari merekanya merekanya itu tadi sudah mati. Membusuk. Tak tercium. Tak sadar dan hanya kepalsuan.
Wahai sang kuasa, sebaiknya Engkau tahu umatMu sudah gila. Cepatlah jangan diam saja, berilah mukjizat yang berarti. Ah, jangan! Berilah uang saja supaya umatMu bertambah murka. Tak peduli. Seperti mayat tak terbaca. Terus menari, menari, sampai menjadi mayat.
MALANG 22 SEPTEMBER 2004.
Kategori
Sajak
(43)
Syair Rakyat
(20)
Status FB
(17)
Puisi Aneh
(12)
Bau Cinta
(8)
Puisi Pelit
(8)
Cerpen
(4)
Esai
(3)
Perpustakakakakan
(1)
Thursday, May 5, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Yang rajin ditengok rakyat syair :
-
oleh : Bhara Martilla Rully Ardian Gedabrus keren dari mulut mulut : (1) pembuka by Bhara Martilla Rully Ardian on Saturday, December 2...
-
Seni dalam bahasa Sanskerta disebut cilpa. Sebagai kata sifat, cilpa berarti berwarna, dan kata jadiannya su-cilpa berarti dilengk...
Tulisan
-
▼
2011
(114)
-
▼
May
(59)
- !, Jadi deras
- Tentang pernikahan
- Mari terjunkan!
- 17
- 16
- Malam pada malam
- Nanti kau boleh melukis ikan di langit!
- Tentang cara dan rasa; pria tetaplah pria
- Gambar diriku aku tak mampu
- Aku ganti yang tergantikan!
- Dalam tidur tiada sedikitpun kuasaku
- Tentang yang bikin penasaran
- Bikin sajak cinta ahhh
- Tentang ahh, cek dan tidak.
- matahari selalu terbit dari timur di kepalamu
- Dan menerka sama saja tertipu daya.
- Entahlah.nyerah!
- Ah entahlah siapa salah.
- 15
- 13
- 14
- 12
- 11
- 10
- 9
- 8
- 7
- 6
- 4
- 5
- 3
- 2
- 1
- Kunamakan saja
- Ketika
- Manusia sejati adalah penyair
- MANUSIA AKULAH
- Mayat Tak Terbaca
- Penyair keren harus belajar berkeringat, belajar b...
- Aku dan dia di dalam blues
- Sebuah monolog berbaris,ak menjadi siapa dan siapa...
- Pembaharuan : lama
- Tanda tanya tanda
- Humanis
- Masa itu,hanya itu: suasana mencengangkan.
- Aku ingat betul saat itu
- Supir Angkot Menggugat
- berak, kencing, kentut dan mani
- experted.
- Jika rakyat bikin puisi
- Puisi itu apa tuan penyair?
- Rakyat Bercinta
- Untuk wanita muda
- Aku Ingin Jadi Buruh
- Hai nona
- Lalu nyanyikan!
- Kekasih?
- Sebuah Romansa Martabat
- dia mati setelah warteg melambung bak bintang lima...
-
▼
May
(59)
No comments:
Post a Comment