Kategori

Sunday, August 7, 2016

Mark Yang Gelisah?

Marx yang gelisah dan ke-egoisan manusia. Berkutik dengan apa dan mengapa. Dunia tak lagi begitu nyata. Agama adalah khayalan. Adalah buaian!. Begitu gila hingga keasyikanya dalam pelarian kenyataan membunuh keduniaan itu sendiri. Agama adalah miras. Adalah pelarian dari apa yang seharusnya ditanggung jawabi. Dunia kehilangan kesadaran. Hisab turun terlalu cepat sebelum waktunya. Lantas apakah manusia-manusia ini ingin menurunkan akhirat sedini ini?. Ataukah justru ketidak sanggupanya pada realitas dunia dan keduniaan membuatnya muak dan lekas pergi?. Sedang borjuis yang asyik dengan psikis manusia terhadap hakikat agama melahirkan penjajahan baru. Memanfaatkan keracunan pemahaman agama ini demi dua hal yang memuakkan. Pertama membutakan esensi keberagamaan itu sendiri, dan yang kedua adalah memberikan aspirin penindasan atau lebih parah candu memabukan diujung pemerasan ekonomi, politik dan mental itu sendiri. Membuat agama sekejam Petrus berjubah malaikat. Memaksa doktrin Tuhan membunuh manusia sebagai obyek nyata yang seharusnya sadar akan realitas dirinya. Yang membuat Sufi lupa dengan Shaw. Yang membuat manusia alpa tentang kedudukanya akan Tuhan. Yang membuat perantau gagal paham akan rumah dan rantauan. Bukankah sinting ketika manusia tak lekas sadar dari kecanduan akan sesuatu yang justru seharusnya menguatkanya dan mengharuskanya untuk paham dan sadar?.

Yang itu!

Tak harus berjalan ke entah, dunia terlalu jelas!. Benderang!, siapa bilang penuh misteri?!, perancu!. Yang entah justru adalah lelah, ruang dimana kemesraan sesederhana begitu menggembirakan. Hai perancu, yang hologram bukanlah yang entah. Yang itu, yang terang!.

Bukankah hujan sudah patuh?,

Ketiadaan, sebuah melancholic yang nyinyir. Hujan terlalu patuh pada talang dan got-got. Jalan yang basah, senyum masakan emak pada asap-asap serta pada bau tanah kuyup yang menyerbak. Ah diksi yang keterlaluan belibet. Tak sanggup sudah menuliskan paragraph rindu. Sungai mendadak mengganas, di air bah yang menari menerjang itu. Ada tiada yang enggan. Di balik pengharapan akan rasa adalah sendiri yang egois. Air mengikis tanah meliar melongsorkan bongkahan. Sepikul tanah dan rerumputan gagal memeganginya untuk diam. Tuhan, lahirkan rumah di memori yang sudah melapuk. Bantu untuk setidaknya menyadarkan jiwa pada memori tanpa berharap terulang. Rumah itu ijinkan saja tidur di dapur. Meski butuh dobrakan pintu. Kotoran di ruang tamu dan bahkan kesedihan di kamar tidur. Bukankah hujan sudah patuh?. Dan kesepian tak lagi demonstrasi di kakus serta jamban. Sekali lagi biarkan kenangan tak menuntut realita. Sekarang deraslah. Tiada ketakutan lagi pada jutaan kubik air yang disalahkan membawa dingin.

Iqra Kepada Kun

Sebuah toples bertutup merah jambu transparan. Di dalamnya ada mimpi yang masih jingga kebiruan. Toples itu tak berwarna dan tak berbentuk. Tak sepenuhnya bisa dibilang kosong karena bentuk dan objek lainya tak sama sekali boleh membentuk. Udara membinasakan udara hingga mengkabut dan menjadi embun berbutir-butir. Membuatnya menempel pada tutup tepat di atas toples yang dibatasi angan yang satir. Kemenggebu-gebuan meletup-letup menabrak batas-batas tepian toples tanpa berdaya. Menghasilkan benjolan dan cerukan hingga beberapa ke-abstrakan justru menghadirkan tambahan tanya. Memenuhi otak hingga meletup menghasilkan molotov yang terlalu sering meletup keras dan terkadang perlahan. Tutup toples tak sama sekali berguncang, tiada embun yang menetes membawa jawaban-jawaban belas kasihan. Ketidak bergemingan yang terlalu sering membuat toples dingin dan frustasi. Namun, terkadang embun menetes begitu lebat membanjiri toples dan menyuburkan alpa dan lupa hingga melupa dan lenyap sebelum sempat melawan.

Yang rajin ditengok rakyat syair :