Kategori

Monday, April 11, 2011

Gedabrus keren dari mulut mulut

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian


Gedabrus keren dari mulut mulut : (1) pembuka

by Bhara Martilla Rully Ardian on Saturday, December 25, 2010 jam 2:47pm

rengek rengek minta
tawa tawa melupa
seorang pernah berbahagia
di sini; di jiwa hampa

nama itu ada
semenit lagi meraba
seorang kuli asa
cengeng oleh daya

kata; meminta
untuk; pada
bagi; dia
lalu; alpa

semenit sebelum tanya
mata air; air mata
ibu menangis mengiba
seorang pendamba tertawa

nyanyi nyanyi sua
meminta lapar; doa
melupa pembuka; daya
rapuh peluh; asa

seorang meminta kehidupan dari pemberi hidup: nestapa!
raga raga tak tahu diri: minta jaya pada satu kata?
ijinkan aku tertawa
sejenak saja: mendengarnya
dayu dayu suaranya
doa doa ingin jadi mantra mantra?

Gedabrus keren dari mulut mulut : (2) yang tanya nyata

by Bhara Martilla Rully Ardian on Jumat, December 31, 2010 jam 6:39pm

Mendikte awan, berharap hitam atau kadang putih. Hanya karna ingin. Supaya ingin menjadi termiliki. Lalu dan lalu kenyataan tetap kukuh sebagai ketidakpastian. Aku ulangi, mendikte awan lagi. Lalu kadang matahari kuingin terbit dari barat atau kadang kuanggap langit itu indah hanya karna bergambar senyumu.

Gedabrus keren dari mulut mulut : (3) yang harap bawah
by Bhara Martilla Rully Ardian on Saturday, January 1, 2011 jam 11:01pm
Jiwa terubah menjadi seekor anjing jinak yang menanti hujan di akhir tahun yang sepenuhnya hitam. Di dalam kebahagian hujan tak ditemuinya rasa bahwa hujan akan turun membasahi bulunya. Dalam gigil hatinya, hati hati gigil itu mengerang kencang. Di batas rasa yang tiada tertahan. Di ujung gang ketidakpastian. Anjing menunggu hujan, sangat sangat merindu tuk sekedar mendapati setetes air hujan jatuh di telapak tanganya. Tuk sekedar berujar: terimakasih karna rasa adalah segala. Padamu. Diketidakmampuanku. 31/12/10

Gedabrus keren dari mulut mulut : (4) pencarian part 1
by Bhara Martilla Rully Ardian on Rèbo, January 12, 2011 jam 1:27pm
Mencangkul ketidaktahuanku di pesta aneh tadi pagi. Aku berangkat berseragam wajar. Tepat di jam 7 di lantai dansa. Aku dapati kesendirian dalam tarianku. Jauh dalam jeritan kujumpai sepasang telinga mendamba melihat. Sebuah lampu minyak kuingin jadi matahari. Lalu abu abu itu jadi temaram. Pintu menjadi pintu pintu lalu terang seterang putih. Seorang bayi bertanya nurani pada alam. Rumput yang berdendang di pojok gang buntu itu berharap punya nabi. Lalu semua orang kuanggap sufi. Dan yang mengaku wali adalah sejenis ketamakan diri. Aku pergi berlayar, menuju hakikat kekasih kekasih yang seharusnya membajak di lumpur. Membasah kotor sedalam lutut. Lalu bernyanyi tanpa mengucap syukur. Tanpa makan nasi berbumbu emas emas ucap. Di tanah seharusnya yang terkasih menerima bunga dan do'a. Di tanah di jam 8 setelah pesta itu. Hati digergaji pikir menambat kata kata yang tak dari nya, tapi dariku dan dariKu.

Gedabrus keren dari mulut mulut : (4) pencarian part 2

by Bhara Martilla Rully Ardian on Jumat, January 14, 2011 jam 2:32pm

Anak itu bersepeda, beroda tiga. Mataku tajam pada detailnya. Kubacakan!, tiga roda. Senyum cemas ratap karna kau perintah menuju surga; menjadi umat.

Gedabrus keren dari mulut mulut : (5) dua
by Bhara Martilla Rully Ardian on Selasa, January 18, 2011 jam 2:40am
Kubuatkan segelas ragu pada tiap satu teguk air itu. Pilihan kuatur pada kanan dan kiri bibirmu. Lalu ketika ucap diawal kata manis itu ternyata sembilu, apa kau bersedia mengantarku pulang atau menggandengku maju?.

Gedabrus keren dari mulut mulut : (6) pencarian part 3 dan 4

by Bhara Martilla Rully Ardian on Selasa, January 18, 2011 jam 11:05pm
(4)

Amanah diri meranah pada duka tanya tanya. Aku mencoba kesekian kali. Aku minta tanya dan diberi tanya. Dan masih setelah keseribu tanya tentang daun itu aku tak mampu membenarkan warna daun itu hijau tua sebenarnya.


(5)

Hai kasih, siang ini aku rindu tak berakal. Setahuku kenapa adalah kelu yang lalu ngilu pada pilu piluku. Kesekian kali aku rindu bodoh. Kabulkan!.

Gedabrus keren dari mulut mulut : (7) kisah kisah (1)

by Bhara Martilla Rully Ardian on Kemis, January 20, 2011 jam 1:01pm

Berawal di Ni Luh Pasek yang terbuang atau di buang Sri Sagening kepada Kyai Jelantik Bogol. Di awal dongeng dongeng tentang Buleleng dan perkutut. I Gusti Gede Pasekan berbaur dengan pejalan bugis, menyatukan asmara di Singaraja. Kini aku menjemputmu di bawah Buleleng, mendandanimu sebagai surat beramplop merah muda lalu jingga. Ku tulis seolah ini tulismu; "aku nur Ni Luh Pasek, meninggalkanmu pada sesal sebesar Agung. Karna di kerajaan sukmaku berlumpur". Sekali lagi aku terbenam, menghidupkan mesin sepeda motorku. Aku bonceng surat itu kemana mana, mencari dukun dukun dan kyai kyai. Mencari jawab supaya ragu. Perkutut berdengkur di atas ranting, kutunggu di bawah buleleng dengan surat dan helm serta jaket hangat ini untukmu. Singaraja malam itu, langit kusuruh jingga. Lalu hijau tua, lalu dingin itu kunanti hingga hambar. Jalan ke rona itu sejengkal dari ikhtiar. Kutunggu. Masih.

Gedabrus keren dari mulut mulut : (8) kutemukan!

by Bhara Martilla Rully Ardian on Rèbo, January 26, 2011 jam 12:21am

Tanah itu tertiup ruh, jadi aku. Jadi!. Aku patung diam disebrang keangkuhan. Aku. Hanya aku yang tahu aku. Tak Kau, tidak kau. Aku suka segala yang nyinyir mendiam. Diam. Berdiam!. Lalu dan lalu oh lalu. Ku teriak lalu!, sekencang lalu menjadi lalu. Aku dipersimpangan menemukan. Ku temukan. Padamu yang membisu atau padanya yang membiru. Aku ingin dingin walau nyali masuk angin. Berjempalit pikir melipat sendi sendi himpit. Disana sini. Di mana mana. Semua otak otak tak menjelaskan apapun. Secuilpun. Aku patung patung angkuh yang lalu dan lalu mematung karna nyata nyata padamu aku terusir. Tergelincir. Membawaku naik turun gunung gunung dan lalu julang julang. Membeku. Jadi beku. Lagi. Kesekian kali.

No comments:

Post a Comment

Yang rajin ditengok rakyat syair :

Tulisan