Kategori

Sunday, August 7, 2016

Bukankah hujan sudah patuh?,

Ketiadaan, sebuah melancholic yang nyinyir. Hujan terlalu patuh pada talang dan got-got. Jalan yang basah, senyum masakan emak pada asap-asap serta pada bau tanah kuyup yang menyerbak. Ah diksi yang keterlaluan belibet. Tak sanggup sudah menuliskan paragraph rindu. Sungai mendadak mengganas, di air bah yang menari menerjang itu. Ada tiada yang enggan. Di balik pengharapan akan rasa adalah sendiri yang egois. Air mengikis tanah meliar melongsorkan bongkahan. Sepikul tanah dan rerumputan gagal memeganginya untuk diam. Tuhan, lahirkan rumah di memori yang sudah melapuk. Bantu untuk setidaknya menyadarkan jiwa pada memori tanpa berharap terulang. Rumah itu ijinkan saja tidur di dapur. Meski butuh dobrakan pintu. Kotoran di ruang tamu dan bahkan kesedihan di kamar tidur. Bukankah hujan sudah patuh?. Dan kesepian tak lagi demonstrasi di kakus serta jamban. Sekali lagi biarkan kenangan tak menuntut realita. Sekarang deraslah. Tiada ketakutan lagi pada jutaan kubik air yang disalahkan membawa dingin.

No comments:

Post a Comment

Yang rajin ditengok rakyat syair :