Kategori

Sajak (43) Syair Rakyat (20) Status FB (17) Puisi Aneh (12) Bau Cinta (8) Puisi Pelit (8) Cerpen (4) Esai (3) Perpustakakakakan (1)
Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Thursday, May 5, 2011

MANUSIA AKULAH

MANUSIA AKULAH

Dingin menusuk pergelangan antar celah otakku, aku masih belum bosan di buatnya menari-nari di atas semua yang sudah biasa terjadi dan aku terlihat pasrah, atau bahkan koma untuk sekedar keluar dari jerat lamunanku, aku sekarat. Semua tampak sama di pikiranku, bumbu-bumbu fatamorgana yang berbunga-bunga. Membuatku nyaman di atas perasaan bingung, perasaan terbuang, di antara semua alasan yang sebenaarnya entah benar atau hanya sekedar sesuatu yang terabaikan. Aku tersesat oleh lamunanku yang seolah membelengguku di penjaranya yang aku ciptakan sendiri, sendiri dan aku tak tau jalan keluar, aneh. Kilatan-kilatan kebencian dan penyesalan seolah-olah ingin segera menerkamku, seperti hidangan kuliner yang menunggu untuk disantap. Akankah aku harus berlari dari omong kosong yang telah aku ciptakan sendiri?, atau aku harus diam?, melawan?, aku mereka-rekanya sendiri dan malah membuatnya semakin rumit saja.
Pagi ini di otakku dan entah waktu apa di kehidupan nyata, aku mencoba bangkit, bersemangat, mencoba memulai memrogram ulang perdebatan-perdebatan yang menyiksa otakku. Sekarang waktunya gencatan senjata, dan mengakhiri kekacauan-kekacauan yang mungkin akan aku ciptakan sendiri. Aku bersemangat memulainya walau jujur aku takut.
Selamat datang aku ucapkan padamu, malaikat penyelamat yang aku ciptakan sendiri, aku tak sengaja menciptakanmu di tengah semua ini. Aku mencoba mulai berbicara denganmu seperti para penjajah-penjajh portugis yang belajar berbicara dengan pribumi-pribumi bodoh. “Hai, apa kabar??”, aku berusaha menyapa. Dia hanya diam, seakan–akan tak menganggap keberadaanku, aku jadi bingung. “Hei!!!!!!!”, aku menegur lebih keras, dia tak menjawab, hanya memelototkan matanya ke arahku, semakin membuatku bingung, dasar aneh.
Perasaanku semakin aneh, tak terkendali, dan entah apa ini?. Aku mencoba menerka, bersepekulasi, tapi tetap saja. Tak ada jawaban. Sepertinya ini bukan teori penjumlahan atau bahkan perkalian yang dengan mudah dipecahkan hanya dengan menggerakan jari pada kalkulator. Tidak ini lebih rumit dari teori atom atau bahkan nuklir sekalipun. Terlihat seperti abstrak dan tak terjawab, tapi harus ditemukan, seperti professor bidang teori hidup di dunia lamunanku, kerajaan khayalanku.
Analisis, itulah langkah pertama yang biasa digunakan orang normal untuk memecahkan masalah. Kucoba menganalisa, dan hasilnya adalah klasik. sebuah jawaban yang berakhir tanya. Aku begitu terbelenggu dengan semua ini, aku terlalu silau oleh cahaya penyesalan yang menghinggapiku, bagai sebuah candu yang mendoktrinku. Kekacauan begitu melekat di hatiku, membentuk bulatan besar di hatiku.
Aku coba tegar tekatku, kubulatkan semangatku yang mengapi bagai rona merah yang menyilaukan mataku. Aku coba berjalan tertatih memecahkan ini semua, mencoba menerka segala kemungkinan yang mungkin terlewatkan olehku. Mataku suram oleh ribuan atau bahkan jutaan gang-gang kebencian dan pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah kulihat sebelumnya, sebuah karya otak-otak penuh tanya. Tapi aneh, ini semua seperti dejavu kejadian yang coba kupaksakan, begitu angkuh untuk ukuran ilmu dan terlalu indah untuk ukuran teori-teori pesolek yang penuh kebohongan. Aku masih bertanya dalam hati sembari terus berusaha untuk dapat memecahkan bahasa dan tindakan apa yang mampu membuat malaikat penyelamatku menghiraukanku. “Hei!!”, aku terus mencoba menyapa, tapi seolah dia tak mendengar ataupun memang begitu, selalu bisu. Memang benar hidup ini bisu aku bilang, sepi untuk sebuah kata yang disebut hidup. Ah lupakan malaikatku, dia benci aku pikir, atau muak malah mendengar penjelasnku, mungkin. Setelah analisa gagal lalu apa yang harus kuperbuat? Diam?, bisa gila saya. Atau lebaih baik saya coba berbicara dengan angan-angan saya, dari pada mengikuti pendapat-pendapat korban sodomi ilmu-ilmu palsu karya professor yang tak jelas, banyak sih, tapi aku tak percaya. Terlalu bodoh menurutku. Akhirnya aku putuskan berjalan saja, ikuti jalan yang jelas.
Babak baru yang segera kurengguh, hanya untuk mengisi kekosongan hati yang tak harus terisi. Aku coba berspekulasi, memainkan imajinasiku seolah ini nyata bagiku. Aku coba menari sendiri di tengah keagungan dunia yang coba aku ciptakan, membentuk jutaan solusi-solusi yang terlampau mencengangkan, dahsiat!. Apakah ini sebuah teori revolusioner baru teriakku, memekik!!. Atau hanya sebuah karya biadab dan hanya ditertawakan?, biarkan masyarakat-masyarakat yang maha madani yang menjawab, saya lelah. Kita lihat saja, perawan atau janda yang baik, pilihan atau sekedar jawaban yang terbaik, saya tak tau, aku pun tidak paham.
Hahaha…, Anda tentu tercengang, tebak apa makhluk yang coba datang??? Setan!!!, hahaha…., saya tertawa, aku terbahak!!!. Malaikat saja tak menggubris, apa lagi setan. Lalu kenapa dia hadir, datang, menyapa??. Akh…, dasar setan. Tak cukupkah dia dikutuk oleh orang-orang beradab dan macam-macam Tuhan yang mereka banggakan, mereka sembah-sembah, seperti babu saja!, umat kok mbabu!!, memalukan. Sudah sini saja setan, biar kupeluk kau, dari pada dihujat sana-sini, kasian saya, aku melas melihatnya, malu!. Biar disini saja, kita sama-sama terhina, terabaikan. Biarlah waktu yang menunjukkan apa kita salah, apa ayam-ayam di kandang bapak-bapak terhormat itu yang benar, atau domba-domba orang-orang tua itu yang terlampau benar, biarlah. Hujatan itu biasa bagi kita, makhluk-makhluk yang menurut anggapan mereka sampah, tak pantas benar!. Lelah!.
Ayo kita demo setan, ajak teman-teman kamu kalau kamu punya, karena saya tak punya, apalagi aku. Hah.., kamu juga tak punya??? Anakmu kemana setan?? Tak punya?, kalau istrimu aku tak yakin, manusia perempuan saja tak banyak yang menurut, apalagi setan-setan betina yang emansipasinya sudah lebih dari tak terkendali!. Ah.., sudahlah kita berdua saja, masak takut, cacing saja berani melawan mereka, malu dong kalau kita hanya diam. Hahaha aku mengelabuhinya.
Akulah manusia, malaikat kukibuli, dan setan??. Ahhhh kukibuli juga. Aku tertawa sekali lagi. Lebih keras. Keras!!. Tuhan??, dan Tuhan??. Hahahahaha aku tak tahu bahwa dia hadir di diriku. Betapa tidak?, akupun mampu mengelabuhi diriku. Nuraniku. Yang bahkan Tuhan pun tak mampu. Lalu aku terbangun, menjadi diriku sebelum entah kapan lagi aku menyapa hal ini kembali. Menjadi manusia. Lagi.

Malang 23 Oktober 2007.

Mayat Tak Terbaca

Mayat Tak Terbaca

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

Matahari mulai menabrak pegunungan dan lambat laun mulai hilang kalah dengan gelap kedap kesunyian malam. Aminah tertatih menghadapi terpaan hidup yang kian sayu. Ia hanya berbaring di atas pembaringan kayu jati yang telah termakan usia, di sampingnya itu diam tanpa suara rumpun keluarganya. Mereka sudah pasrah, tak tahu dan terus membisu.

Disekeliling pembaringan itu keluarga Aminah terus menancapkan mata mereka ke arah yang sama, keseluruhanya tidak beda sebuah lingkaran dimana Aminah sebagai sumbu. Mereka semua masih bermata redup. Kelelahan semalam suntuk menjaga dan memenuhi keinginan Aminah belum hilang dalam masa sesingkat itu.

Di sudut ruangan mata yang kemerah-merahan mulai meneteskan setitik air mata. Mata itu milik Siti, ibu dari Aminah. Ia terus menerus terbenam dalam kesunyian dan keputus asa'an. Terus merasakan penderitaan yang menyesakan sukma.

Tapi dia tak habis pikir, mengapa Tuhan yang kata orang-orang hidup di dunia yang penuh kepalsuan ini Maha Adil, Maha Bijaksana dan entah masih banyak Maha-Maha yang lain, tega memberikan cobaan yang teramat kelam.

"Oh Tuhanku, aku ini hidup hanya dengan satu anak. Anak itupun aku dapat dari suamiku yang telah termakan tanah, tidakah Kau kasian kepadaku?. Mengapa Kau cobai hambamu seberat ini?"

"Oh anaku Aminah, sadarlah!. Mengapa harus kau yang menanggung anaku??".

Ibu itu mencoba terus berdoa, walaupun ia sudah terlampau benci kepada Sang Pencipta.

Sudah dua minggu ini berlalu, Aminah tetap diam tergolek, ia masih tak sadar. Sampai dibawa ke rumah sakit seminggu yang lalupun pastilah Aminah tak tahu. Memang karna sudah tak sanggup diobati dirumah, ibu dan keluarga Aminah merawatinya di rumah sakit yang paling ternama.

"Tidakah kau tahu Siti! Ini rumah sakit paling ternama. Sudah jutaan orang sakit parah terobati di sini!", ucap tetangga Siti yang memang sudah punya bawaan sok tahu walaupun banyak yang mengakui dia bodoh.

Tapi mungkin hanya kebodohanlah yang membuat Siti yakin anaknya tertolong. Memang semua orang sudah pasrah, mereka tahu itu semua sudah tak mungkin.

Dokter sudah menolak merawat Aminah, keluarganyapun sudah pasrah dan bingung, juga kasihan.

Siti tetap bersikukuh, "Aminah dapat selamat!! Aminah dapat selamat!!", sambil bersungut sungut Siti berteriak menggerutu.

Hari-hari Siti mulai kacau. Ia sudah gila rupanya, bahkan orang gilapun tahu itu semua gila. Siti hanya bermimpi. Ia merasa ia Tuhan barangkali, dengan satu gerakan, bahkan tanpa gerakan bisa melakukan sesuatu.

Semua orang bahkan semua hal mengejek dan mencela Siti. Mereka menggerutu, batinya tergolek, terkoyak-koyak tak berwujud, tak berupa. Mereka bingung, mungkinkah ini fenomena, tapi mungkin ini lebih mirip kepalsuan, kediktatoran, menggurui, kesoktahuan, kesomboongan dan kemulukan hidup. Mereka tak percaya kasih sayang, tak percaya cinta. Mereka hanya tahu satu hal. Siti gila, ia gila!!.

Apa tidak gila, ia merawat mayat yang sudah busuk empat hari, ia terus menciumi mayat yang sudah sekarat. Belatungpun sampai tak mau menjilatinya. Mereka jijik, belatungpun jijik. Ayampun jijik.

Mereka dan semua orang boleh berkata Siti bodoh, Siti gila. Tak waras. Tapi mereka juga gila, mereka sampai tak tahu bahwa segolek tubuh sudah menyusul Aminah. Mereka terus menyerca. Sampai tak tahu rumah Siti memancarkan dua sumber bau busuk dari dua mayat. Tapi mereka dari mereka tadipun juga gila. Ia tak tahu bahwa mereka itu tadi telah tergolek menjadi mayat-mayat tak terbaca. Tak mengurusi. Tak tahu urus. Dan mereka dari mereka itupun lagi juga gila. Ia tak tahu banyak orang dari mereka, dari merekanya mereka, dari merekanya mereka itu tadi dan dari merekanya merekanya itu tadi sudah mati. Membusuk. Tak tercium. Tak sadar dan hanya kepalsuan.

Wahai sang kuasa, sebaiknya Engkau tahu umatMu sudah gila. Cepatlah jangan diam saja, berilah mukjizat yang berarti. Ah, jangan! Berilah uang saja supaya umatMu bertambah murka. Tak peduli. Seperti mayat tak terbaca. Terus menari, menari, sampai menjadi mayat.




MALANG 22 SEPTEMBER 2004.

Monday, May 2, 2011

Sebuah Romansa Martabat

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian


Sebuah Romansa Martabat
Senèn, February 1, 2010 jam 1:45am

Dan dia bernama Siti Nurbaya, yangg terikat hubungan terlarang dengan Ken Dedes, ah kisah Romeo dan Juliet terlalu tawar, hambar karrna kurang sensasi, lebih dahsyat ini, kisah timur yang terhalang agama dan kaum yg mengaku bragama. Dan dia bernama Si Pitung, tokoh ekstrimis yang terkenal karena membunuh Wali Songo yang Agung, yang menganggap umat yang paling suci dibanding Tan Malaka, lebih kaya dari Suharto si koruptor dan Sukarno si manipulator, romansa ini potret dari agama yang mendoktrin demokrasi ala slavery kepercayaan, tak ada Paus Paulus disini, yang ada hanya seruak mulut mulut tukang becak yang terinjak oleh pantat hinamu, aku menyebut dia Sajhrir, alias Rhoma Irama yang mengaku beragama dengan berpoligami lebih dari 7orang, yang kesemuanya ditiduri, ya aku memanggilnya Mao Dze Dong berkumis Hitler dan berpantat Ulama.

dia mati setelah warteg melambung bak bintang lima,salah siapakah?

oleh : Bhara Martilla Rully Ardian

dia mati setelah warteg melambung bak bintang lima,salah siapakah?
Kemis, February 18, 2010 jam 1:33pm

Dia pagi itu sperti biasa bersujud dan kemudian berikrar entah anda menyebutnya do'a atau harapan, terserah. Dia cium kening lima anaknya,eh enam sama yang masih diperut bininya, tak lupa dia melambai sebelum mlangkah yakin, atau entah anda menyebutnya optimis atau skedar memberi harapan palsu dibuta pagi kala itu. Tak lupa dia melangkah keluar rumah, hebatnya dia melangkah kaki kanan terlebih dahulu, hebat!!, entah apa anda menyebutnya, kebetulan atau direncanakan, tak usah disoal, dia bukan anda, langkahnya hanya warna hitam ditengah jelaga, tragis. Benaknya terus berpikir hebat pagi itu, celakanya dia tak punya arah, setelah PHK mencekik lehernya, ah dia hanya buruh, siapa dia bisa mengusik anda,cukup tebar pesona dan berakting cengeng selesailah sudah, dia hanya debu,menyesakkan memang jika banyak,ah tapi sekali tiup oleh otot otot penjagamu mampuslah dia, atau tak usah diapa apain juga paling mati sendiri dia mencekik lehernya. Dia terduduk dipinggir jalan, mempermainkan pikirnya,melamunkan asanya, ya beginilah nasib pemimpi, lahir jadi mimpi,tak pejam maka tak ada hidup. Perkenalkan dia adalah Sobirin, seorang pensiunan buruh oleh selembar kertas pecat, anaknya lima,jarak umurnya berdekatan sperti kisah tragis biasa bagi wong cilik, marah dengan negara dan melanggar sistem KB mungkin, haha itu pendapat saya, istrinya satu, Leha namanya, yang cuma bisa bunting, nangis, nyusuin, nangis, nyuci, tapi kebanyakan nangis dia ahlinya, anda sih nakal, semua istri anda suruh memutar otak dengan menaikkan harga kebutuhan hidup seenak udel anda. Cukup perkenalan tentang keluarga Sobirin, kita lanjutkan ceritanya. Setelah mentari muncul dan terang menggantikan gelap, Sobirin kemudian melangkah, dia lepas vantofelnya, kemejanya dia lipat juga, dia dapat ide dari TV buat ikutan jadi demonstran bayaran, mudah pikirnya, cuma modal teriak teriak, sekalian mukulin polisi kalau bisa. Berangkat dia dengan kening diikat tulisan "buruh malang lapar lalu mati group", membawa spanduk dan berteriak, walau kadang dia tak tau apa yang dia teriakkan selain kebencian pada negara. Sial tapi Sobirin, dia ditangkap, duit upah demonya disita, wajah babak belur, dendam membatu semakin keras, apes lah dia. Dengan gontai dia keluar polres berjalan melewati pertokoan sambil berharap mendapat kerja apapun juga, wah bagaimana dengan anda yang duduk di sofa empuk?? enaknya, liat tu Sobirin dewamu menari nari rin, memeras tanah saudaramu. Tak lama Sobirin lama menatap toko elektronik, seperti biasa dilihat dari pagarnya yang maximum security ini toko milik orang china dia bergumam, pantas saja bila kebakaran pada mampus kejebak dia pikir, tatapan matanya mengarah pada TV display yang menyiarkan berita berita nasional. Tarif tol naik, listrik ikut, lalu air, beras, sembako, pecun, bayi, wanita, naik naik naik!!, hanya keadilan dan moral yang turun, berita kelaparan dimana mana, kasus korupsi, pembunuhan, penipuan, pencurian, ah semuanya efek pemanasan ekonomi, global mlaratming!! tapi anda optimis saja, seperti kata anda, percaya rakyat mampu bersaing, kita bangsa besar, mari bersatu untuk maju!, ah tapi saya pikir Sobirin sudah lupa dengan kampanye Anda, mungkin hanya dua potong kaus dan satu bendera parpol anda yang kini dia jadikan pembungkus bantal yang tersisa, ah janji, lagi lagi menguap. Gontai Sobirin berjalan lagi, lalu dia berpikir untuk mencuri atau mencopet, tapi hatinya berontak, dia takut di cap jalang oleh orang pintar di agamanya, lalu dia berusaha melupa. Sesampai di pasar dia kerja serabutan, kuli angkut, tukang bersih sampai mijitin juraganya dia lakukan, hebatnya Sobirin memperoleh 21 ribu, 21 itu angka perek dia membatin, apes benar dia berguman. Sudah magrib, dia branjak pulang. Sesampainya di depan pasar dia ingat anak sulungnya pingin sama nasi campur, seminggu anaknya mimpi untuk bisa memakanya, ah cerita tragis biasa dalam rumah tangga kaum mlarat, kesulitan air tapi anda minum Perier, mandi di kali sekalian beraknya tapi anda berendam di jakuzi, putus sekolah walau anda gembar gembor APBN berpihak pada pendidikan,ahhh… dan masalah lain yang sangat amat sangat sangat banyak. Sesampainya di warteg dia memesan satu porsi pakai lauk telur ayam banyak tepung goreng bungkus sekalian sama nasi dan sayurnya, Sobirin menunggu dengan antusias dan berseri seri membayangkan keceriaan wajah anaknya nanti,sudah lalu dia bertanya, "berapa buk nasinya??", di jawa oleh penjual, "12ribu pak!", sobirin tak menjawab, "12 ribu pak!", Sobirin tak menjawab.

Yang rajin ditengok rakyat syair :